Apa yang Dimaksud dengan White Collar Crime?
Edwin Sutherland, seorang kriminolog yang berpengaruh di abad ke-20, memperkenalkan istilah white-collar crime atau yang dikenal sebagai kejahatan kerah putih pada tahun 1939. Konsep ini mengacu pada tindakan kriminal yang dilakukan oleh individu-individu yang memiliki status sosial tinggi, biasanya dalam konteks pekerjaan profesional atau jabatan publik mereka.Â
Kejahatan kerah putih tidak seperti kejahatan konvensional yang sering kali melibatkan kekerasan, tetapi lebih sering terjadi dalam bentuk pelanggaran hukum yang terselubung, seperti penipuan, penggelapan dana, penghindaran pajak, hingga korupsi.Â
Kejahatan ini memiliki dampak yang sangat besar karena merugikan keuangan publik, merusak tatanan sosial, dan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan dan hukum. Di Indonesia, korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan kerah putih yang paling mencolok, dengan kasus-kasus besar yang sering kali melibatkan pejabat tinggi negara.Â
Pemahaman terhadap diskursus Sutherland dan konteks lokal Indonesia dapat membantu dalam merancang kebijakan anti-korupsi yang lebih efektif. Diperlukan upaya bersama dari pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil untuk menciptakan sistem yang lebih transparan, bertanggung jawab, dan melibatkan pertanggungjawaban bagi pelaku korupsi.Â
Demi mencapai tujuan ini, perlu adanya pendekatan holistik yang mencakup reformasi kebijakan, peningkatan pengawasan, dan pembangunan kesadaran masyarakat untuk memutus siklus kejahatan korupsi yang telah merugikan pembangunan negara (Friedman, 2009)
Siapa yang Terlibat dalam Fenomena Korupsi di Indonesia, dan Siapa yang Menjadi Korbannya?Â
Dalam konteks Indonesia, pelaku utama korupsi umumnya berasal dari kalangan pejabat publik, politisi, dan profesional yang memiliki akses besar terhadap sumber daya negara atau kekuasaan administratif. Mereka menggunakan posisi mereka untuk mengambil keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang, penggelapan anggaran, hingga praktik suap yang kerap terjadi dalam proyek-proyek besar.Â
Di sisi lain, korban dari tindakan korupsi ini adalah masyarakat luas, terutama kalangan yang bergantung pada fasilitas publik yang didanai oleh anggaran negara. Dampak korupsi tidak hanya menyebabkan kerugian finansial dalam jumlah besar, tetapi juga mengurangi kualitas layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.Â
Misalnya, anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun rumah sakit atau sekolah sering kali disalahgunakan, sehingga masyarakat miskin harus menanggung beban terberat akibat korupsi yang dilakukan oleh segelintir elit.Â
Berikut adalah gambaran siapa saja yang terlibat:Â
Pejabat Publik
- Termasuk anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.
Aparatur Sipil Negara (ASN)
- Beberapa ASN terlibat dalam praktik korupsi seperti pungutan liar (pungli) atau manipulasi administrasi.
Pengusaha atau Swasta
- Memberikan suap atau gratifikasi untuk mendapatkan proyek atau izin dengan cara yang tidak sesuai aturan.
Partai Politik
- Beberapa partai menggunakan dana haram untuk membiayai operasional atau kampanye politik.
Oknum Penegak Hukum
- Beberapa penegak hukum (polisi, jaksa, atau hakim) terlibat dalam praktik suap untuk mengatur hasil keputusan hukum.
Berikut adalah gambaran siapa saja yang menjadi korbannya:
Masyarakat Umum
- Kehilangan akses ke layanan publik yang berkualitas, seperti kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur.
Perekonomian Negara
- Kerugian besar pada keuangan negara yang menghambat pembangunan ekonomi.
Pengusaha Jujur
- Kesulitan bersaing karena harus menghadapi pelaku usaha yang bermain kotor melalui suap dan nepotisme.
Generasi Mendatang
- Mereka akan menanggung dampak dari pembangunan yang tidak berkelanjutan dan utang negara akibat praktik korupsi.
Citra dan Kepercayaan Publik
- Korupsi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi negara.
Bagaimana Korupsi Dapat Dijelaskan Melalui Teori Edwin Sutherland?
Dalam teorinya yang dikenal sebagai differential association theory, Edwin Sutherland menjelaskan bahwa perilaku kriminal, termasuk kejahatan kerah putih, tidak muncul begitu saja, tetapi dipelajari melalui interaksi sosial dan lingkungan sekitar. Sutherland menyatakan bahwa seseorang akan cenderung melakukan tindakan kriminal jika ia sering berinteraksi dengan lingkungan yang mendukung tindakan tersebut.Â
Fenomena ini sangat relevan dengan situasi di Indonesia, di mana budaya patronase, nepotisme, dan sistem birokrasi yang korup telah menjadi lingkungan subur bagi berkembangnya korupsi. Ketika seseorang berada di lingkungan kerja yang permisif terhadap penyalahgunaan kekuasaan atau ketika tindakan korupsi dianggap sebagai sesuatu yang "normal", maka peluang untuk melakukan kejahatan tersebut menjadi semakin besar.
Selain faktor budaya, lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga menjadi salah satu alasan mengapa korupsi begitu sulit diberantas. Proses hukum yang lamban, hukuman yang sering dianggap tidak setimpal, dan adanya oknum penegak hukum yang turut terlibat dalam praktik korupsi semakin memperparah situasi.Â
Meskipun telah ada upaya serius seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tantangan besar tetap ada, terutama dalam melawan sistem yang sudah mengakar selama puluhan tahun.
Teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan korupsi sebagai berikut:Â
Kriminalitas adalah Perilaku yang Dipelajari
Menurut Sutherland, seseorang tidak dilahirkan sebagai koruptor, tetapi belajar menjadi koruptor melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Dalam konteks korupsi, ini berarti individu belajar bagaimana melakukan tindakan korupsi, membenarkannya, dan memahami manfaatnya dari orang-orang di sekitarnya, seperti rekan kerja atau atasan.
Pengaruh Kelompok Sosial
Korupsi sering terjadi di lingkungan di mana norma sosial mendukung atau setidaknya tidak menentang perilaku tersebut. Jika seseorang bekerja dalam organisasi di mana praktik korupsi dianggap biasa atau bahkan didorong, maka peluang untuk melakukan korupsi meningkat.Contohnya : Pemimpin korup: Jika pemimpin menunjukkan bahwa korupsi adalah "cara untuk sukses," bawahan mungkin menirunya.
Fokus pada Rasio Pengaruh Positif vs. Negatif
Sutherland menyatakan bahwa individu lebih mungkin melakukan tindakan kriminal jika mereka menerima lebih banyak definisi yang mendukung tindakan tersebut daripada definisi yang menentangnya. Dalam kasus korupsi:
- Definisi mendukung: "Korupsi adalah hal biasa," "Semua orang melakukannya," atau "Ini hanya cara untuk mendapatkan hak saya."
- Definisi menentang: "Korupsi itu ilegal," "Itu tidak etis," atau "Ada konsekuensi hukum."
Jika individu lebih sering terpapar definisi yang mendukung korupsi, mereka cenderung melakukannya.Â
Frekuensi, Durasi, dan Intensitas Interaksi
Sutherland menekankan bahwa semakin sering, lama, dan intens interaksi seseorang dengan individu atau kelompok yang mempraktikkan korupsi, semakin besar kemungkinan mereka untuk mempelajari dan melakukan perilaku serupa. Contoh: Seorang pegawai baru yang terus-menerus diajarkan atau diperlihatkan bagaimana cara menghindari aturan akan lebih mungkin terlibat dalam korupsi dibandingkan seseorang yang bekerja di lingkungan yang menentang perilaku tersebut.
Justifikasi dan Rasionalisasi
Dalam korupsi, individu sering mempelajari teknik untuk membenarkan tindakan mereka, seperti:
- Ini demi keluarga saya.
- Sistem sudah rusak, jadi ini bukan salah saya.
- Uang ini hanya tambahan, tidak merugikan siapa pun secara langsung.
Justifikasi semacam ini biasanya dipelajari melalui interaksi dengan individu lain yang berpikiran sama.Â
Penerapan dalam Penanganan Korupsi
Pemahaman teori ini dapat membantu dalam strategi pencegahan korupsi dengan:
- Menciptakan budaya organisasi yang kuat: Menanamkan nilai-nilai antikorupsi sejak awal.
- Memutus rantai pengaruh negatif: Mengidentifikasi dan memisahkan individu yang menjadi "role model" korupsi.
- Menguatkan pengawasan: Mengurangi kesempatan untuk terjadinya interaksi yang mendukung korupsi.
Dengan memahami bahwa korupsi adalah perilaku yang dipelajari, pendekatan pencegahan dan pendidikan dapat difokuskan untuk mengubah budaya dan norma yang mendukung perilaku tersebut.Â
Kesimpulan
Langkah Strategis untuk Mengatasi Fenomena Korupsi di Indonesia
Diskursus yang diperkenalkan oleh Edwin Sutherland melalui konsep kejahatan kerah putih memberikan wawasan yang sangat berharga dalam memahami fenomena korupsi di Indonesia.Â
Dengan memahami bahwa korupsi tidak hanya disebabkan oleh sifat individu, tetapi juga oleh pengaruh lingkungan dan budaya, kita dapat merancang strategi yang lebih komprehensif untuk mencegah dan memberantasnya.Â
Perubahan ini memerlukan komitmen kolektif dari pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil. Meningkatkan transparansi, memperkuat sistem pengawasan, dan menanamkan nilai-nilai antikorupsi sejak dini merupakan beberapa langkah konkret yang dapat diambil untuk menciptakan Indonesia yang bersih dan berintegritas.Â
Daftar Pustaka
Dirdjosisworo, S. (1994), Sinopsis Kriminologi Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
Friedrichs, David O. (2009). Trusted Criminals: White Collar Crime in Contemporary Society.Â
Levi, Michael. (2010). Serious White Collar Crime and Its Control: Case Studies and Consequences. Criminology & Public Policy, 9(4), 623–649.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H