Gen Z, terutama karena perilaku mereka yang mencolok di media sosial. Penting untuk mengatasi masalah ini melalui pendekatan yang empatik. Alih-alih hanya mengkritik, kita perlu memahami tantangan yang mereka hadapi, sekaligus memberikan bimbingan yang relevan tentang pentingnya etika, tanggung jawab pribadi, dan dampak tindakan mereka, baik secara online maupun offline. Dengan begitu, kita bisa membantu mereka mengembangkan kedewasaan moral tanpa menutup ruang ekspresi yang mereka butuhkan.
Ada kekhawatiran  terkait dengan degradasi moral atau sopan santun di kalanganBelakangan viral Gen Z yang mengungkapkan rasa frustrasi dengan kata-kata yang kurang pantas di media sosial ketika tidak lolos tes CPNS merupakan gambaran dari dinamika sosial di era digital, di mana platform media sosial sering menjadi tempat pelampiasan emosi. Namun, penting untuk menyikapi situasi ini dengan bijak.
Pertama, mengungkapkan kekecewaan adalah hal yang wajar, tetapi cara penyampaiannya perlu diperhatikan. Mengumpat atau marah-marah di publik bisa menciptakan citra diri yang negatif dan bahkan merugikan di masa depan, terutama di dunia kerja yang sangat memperhatikan jejak digital seseorang. Di sinilah perlunya edukasi tentang etika digital, bagaimana mengelola emosi secara sehat, serta memahami dampak dari tindakan yang dilakukan di ruang publik online.
Kedua, kegagalan dalam tes CPNS atau kesempatan lain bukanlah akhir dari segalanya. Seharusnya, momen ini dijadikan sebagai pelajaran untuk introspeksi dan memperbaiki diri. Semestinya ada kesadaran bahwa proses seleksi CPNS sangat kompetitif, dan kegagalan adalah bagian dari perjalanan menuju kesuksesan.
Namun, penting untuk mendekati isu ini dengan perspektif yang seimbang dan memahami konteks yang lebih luas. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan cara berkomunikasi dan bersikap, khususnya pada generasi yang tumbuh bersama teknologi:
1. Pengaruh Media SosialÂ
Media sosial sering kali mendorong komunikasi yang lebih spontan, emosional, dan tidak selalu melalui filter norma sosial yang biasa digunakan di dunia nyata. Ini bisa menciptakan kesan bahwa ada degradasi moral, padahal mungkin lebih terkait dengan cara baru mereka mengekspresikan diri di ruang digital. Anonimitas dan jarak digital juga sering membuat orang lebih berani dalam mengutarakan pendapat atau emosi tanpa memikirkan dampaknya.
2. Perubahan Norma Sosial
Setiap generasi memiliki norma sosial yang berbeda. Bagi Gen Z, konsep "sopan santun" mungkin berubah sesuai dengan lingkungan digital yang serba cepat dan dinamis. Mereka lebih terbuka dalam mengungkapkan pendapat dan perasaan, bahkan yang bersifat negatif, yang bagi generasi sebelumnya bisa dianggap tidak sopan. Namun, ini juga bisa diartikan sebagai keberanian untuk bersikap transparan.
3. Krisis Kepercayaan pada Institusi
Gen Z tumbuh di masa di mana ada banyak ketidakpuasan terhadap institusi, baik pemerintah, pendidikan, maupun ekonomi. Kegagalan atau ketidakadilan yang mereka rasakan, seperti sulitnya mendapatkan pekerjaan atau tekanan sosial, sering kali membuat mereka mengungkapkan frustrasi secara terbuka. Di sinilah mereka membutuhkan ruang untuk memahami dan menyalurkan ketidakpuasan tersebut secara konstruktif.