Spalletti bahkan hanya berharap para pemainnya menemukan identitas permainan filosofi khas Italia, yaitu bermain tangguh di belakang, kuat dalam menutup setiap ruang permainan, dan tajam ketika melakukan serangan balik.
Pernyataan dan pengakuan Spalletti itu sesungguhnya menyiratkan beratnya beban yang harus ia dan pemainnya tanggung, sekaligus  mengindikasikan tidak adanya kepercayaan diri menghadapi Swiss. Ketika Spalletti berharap tuah Olympiastadion Berlin tahun 2006 memberi keberuntungan ganda, Italia justru menjadi sebuah tim yang gagal.
Ketika pelatih Italia Enzo Bearzot, Marcelo Lippi, dan Roberto Mancini dinilai memperoleh keberuntungan saat sukses meraih gelar mayor, seharusnya Spalletti mengesampingkan bayang-bayang keberuntungan itu, karena seorang pelatih sepak bola profesional tingkat dunia tidak boleh tergantung pada keberuntungan.
Keberuntungan tidak bisa diandalkan dalam dunia sepak bola profesional. Sangat mungkin Spalletti terjebak dengan keyakinan bahwa keberuntungan pada saatnya akan menghampirinya, sehingga ia lengah dan tidak sungguh-sungguh mempersiapkan timnya secara teknis.
Spalletti mungkin lupa bahwa sikap demikian amat berbahaya. Ia lupa bahwa keberuntungan hanya datang di waktu yang tepat, datang dengan sendirinya, dan tidak pernah direncanakan. Ia lupa bahwa faktor keberuntungan tidak mungkin datang atas kemauan sendiri, dan keberuntungan seharusnya tidak dijadikan sandaran kesuksesan di dunia sepak bola profesional.
Pakar keuangan dari Universitas Maryland, AS, Profesor David Kass mengatakan, faktor keberuntungan memang memainkan peran penting dalam keberhasilan manusia. Namun ia juga menekankan pentingnya bersungguh-sungguh, bekerja keras, dan bersikap rendah hati, karena keberuntungan akan datang tanpa diketahui. Manusia, katanya, harus menghargai kontribusi orang-orang yang bekerja keras, dan hal itu adalah momen kritis dalam persoalan keberuntungan.
Mengubah Formasi 4-2-3-1
Ketika timnas Italia dijauhi keberuntungan, sebenarnya, hanya strategi dan taktik pelatih yang tepat dan kekuatan para pemain yang seharusnya menjadi andalan untuk bertarung di lapangan hijau.
Namun ada yang mengejutkan ketika Luciano Spalletti merombak susunan pemain dan mengubah formasi permainan saat menghadapi Swiss. Setidaknya lima pemain baru menjadi starter saat menghadapi Swiss, yaitu Stephan El Shaarawy, Nicolo Fagioli, Bryan Christante, Matteo Darmian, dan Gianluca Mancini. Kelimanya menggantikan Lorenzo Pellegrini, Davide Frattesi, Jorginho, Ricardo Calafiori, dan Frederico Dimarco.
Ketiadaan Ricardo Calafiori yang selalu berduet dengan Alessandro Bastoni meninggalkan celah yang rawan, dan berhasil dimanfaatkan para gelandang dan penyerang Swiss dengan umpan-umpan terobosan menusuk ke kotak penalti. Mancini yang menggantikan Calafiori gagal menjalin kerja sama solid dengan Bastoni.
Keputusan Spalletti mengubah formai 4-2-3-1 menjadi 4-3-3 juga patut diperdebatkan, karena dengan menghilangnya Jorginho di posisi defensive-midfielder membuat Nicolo Barella bekerja sendirian di daerah berbahaya. Mengubah pakem double-pivot khas Italia juga membuat barikade di depan kotak 16 menjadi terbuka dan dan mudah ditembus lawan.