Mohon tunggu...
Yayat S. Soelaeman
Yayat S. Soelaeman Mohon Tunggu... Penulis - Berbagi Inspirasi

writer and journalist / yayatindonesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Demi Keadilan untuk Semua, Sengketa Pemilu 2024 Harus Dibawa ke Pengadilan

17 Maret 2024   12:32 Diperbarui: 17 Maret 2024   13:05 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Tiga Paslon Pilpres 2024 - Foto: Kompas.Com)

Jakarta -- Berbagai pendapat, pandangan dan tudingan adanya dugaan pelanggaran atau kecurangan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum 2024 (Pemilu), khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres), menurut seorang pakar hukum, hanya sekedar diksi-diksi dan semangat heroisme dari pihak yang kalah.

Dalam wawancara khusus dengan Dr. Tengku Murphy Nusmir, SH, MH mengenai dinamika politik pasca-Pilpres 2024, Ketua Umum DPP Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) itu menyatakan bahwa tudingan adanya dugaan kecurangan merupakan hal yang biasa ketika hasil pemilu (pilpres) diketahui, khususnya dari pasangan calon yang kalah.

"Profesor Mahfud MD, mantan Ketua MK, yang saat ini sebagai calon wakil presiden pernah menyatakan bahwa dalam setiap pilpres, begitu perhitungan suara diketahui, maka yang kalah belum siap untuk menerima kekalahan dan menyuarakan adanya dugaan kecurangan," katanya.

Pilpres 2024 diikuti tiga pasangan calon, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Berdasarkan quick count hampir semua lembaga survei dan real count KPU, pasangan Prabowo-Gibran sementara unggul perolehan suara, yaitu lebih dari 58 persen, diikuti Anies-Muhamimin sekitar 24 persen dan Ganjar-Mahfud yang mendekati 17 persen.

Menurut Tengku Nusmir, dalam sosiologi politik, tudingan dan diksi-diksi adanya kecurangan dalam pilpres adalah hal biasa dan merupakan dinamika politik. "Hanya heroisme biasa saja dari paslon dan relawan pendukungnya yang tidak menerima kekalahan. Namun, demi keadilan untuk semua pasangan calon, maka dugaan kecurangan harus dibawa dan dibuktikan di muka pengadilan," katanya.

Dalam konteks hukum dan keadilan, katanya, semua orang/pihak sama di depan hukum. Artinya, hukum harus memberikan keadilan yang setara kepada semua paslon pilpres, bukan hanya bagi paslon yang kalah, tapi juga kepada paslon yang meraih suara rakyat terbanyak.

Berikut petikan wawancara tanya jawab dengan pakar dan praktisi hukum Dr. Tengku Murphy Nusmir:

Tanya (T): Bagaimana suara-suara dugaan kecurangan pilpres dipandang dari aspek hukum?

Jawab (J): Begitu masuk  ke ranah hukum, diksi dugaan kecurangan itu tidak bisa diterima. Semua dugaan kecurangan harus dibawa ke muka sidang pengadilan dan harus dibuktikan. Itu menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai UU Pemilu. Ketika dibawa ke ranah hukum, maka harus terpenuhi formil dan materiilnya. Formilnya pencoblosan dan penghitungan suara, sedangkan materiilnya (perbuatannya) adanya tindakan perbuatan melakukan kecurangan. Nah, perbuatannya apa? Kemudian, siapa yang melakukan perbuatan curang? Apakah salah satu paslon pilpres, penyelenggara (KPU/Bawaslu), pemerintah, KPPS/Petugas di TPS, tim sukses, pengurus parpol, atau siapa? Kemudian juga waktunya, tempatnya, dan saksinya.

Dr Tengku Murphy Nusmir (Foto: PPHI.0r.id)
Dr Tengku Murphy Nusmir (Foto: PPHI.0r.id)

T: Bagaimana mengenai adanya beberapa pihak yang tidak percaya kepada KPU atau MK?

J: Berdasarkan UU Pemilu, KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu. Apabila ada sengketa dan peselisihan pemilu, maka MK yang mengadili . Itu aturan hukumnya. Jika misalnya paslon atau tim sukses tidak percaya KPU dan MK, lalu harus bagaimana? Semua paslon sebelumnya mendaftar ke KPU sebagai peserta pilpres, namun ketika hitung sementara kalah, mereka tidak menerima dan tidak percaya KPU. Ini akan membingungkan masyarakat. Kalau yakin tidak percaya kepada KPU dan MK, harusnya sejak awal mereka menyatakan itu dan tidak perlu mendaftar sebagai peserta pilpres.

MK tidak mungkin sembarangan membatalkan (hasil) pemilu secara keseluruhan. Yang bisa dilakukan adalah membatalkan penghitungan suara di TPS atau memerintahkan pemungutan suara ulang di TPS-TPS yang diduga terdapat kecurangan. Hukum itu harus diuji. Harus memberi keadilan bagi semua pihak/orang. Apabila ada dugaan bahwa kemenangan pasangan Prabowo-Gibran karena melakukan perbuatan curang, maka harus dibuktikan di MK, sehingga ada kepastian hukum.

J: Mengenai TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif)?

J: Dalam hukum, TSM tidak dikenal. Namun secara politik, TSM mungkin bisa dianggap sebagai skenario, ada perencanaan dan persiapan untuk melakukan kecurangan. Apabila benar ada skenario, kapan dan di mana persiapan dan perencanaan itu dilakukan, dan siapa orang-orangnya? Apakah ada bukti dan saksi, lalu bagaimana bentuk perbuatannya? Apakah bukti perbuatan curang itu dilakukan oleh seluruh jajaran tim sukses dan relawan paslon pemenang di seluruh desa, kabupaten, kota, provinsi?  Sangat sulit untuk membuktikan adanya dugaan kecurangan secara TSM.

T: Bagaimana mengenai suara-suara yang menuntut keadilan dalam pesta demokrasi?

J: Untuk mewujudkan keadilan, setiap orang sama di depan hukum. Apabila ada konflik, perselisihan, beda pendapat, maka demi keadilan, semua fakta harus dibawa dan diuji di sidang pengadilan. Keadilan itu harus diwujudkan di muka pengadilan, dalam hal ini adalah MK. Semua paslon, berhak memperoleh keadilan yang sama dan setara.

Pemilu diatur oleh UU Pemilu, di antaranya mengatur peran, fungsi  dan kewenangan KPU, Bawaslu dan MK. Semua peserta pemilu, setelah mendaftar dan diterima, harus mematuhi aturan itu. UU Pemilu adalah aturan Negara. Peserta pemilu, juga pemerintah dan rakyat, harus menghormati dan patuh. Kalau misalnya ada suara-suara yang tidak percaya terhadap KPU dan MK, maka pada hakikatnya, mereka tidak menghormati hukum, tidak menghormati UU dan aturan Negara.

Demokrasi tidak bisa disebut sebagai hak asasi. Demokrasi tetap harus dibatasi oleh aturan hukum atau UU, karena Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, setiap orang, siapa saja, tidak bisa bertindak sewenang-wenang.

Menurut hemat saya, tidak perlu ada suara-suara yang menyatakan tidak percaya KPU atau MK. Kalau memang tidak puas dengan penyelenggaraan pemilu  atau misalnya adanya dugaan campur tangan dan keberpihakan pemerintah  (presiden) dalam mendukung salah satu paslon, maka lebih baik paslon membuat maklumat, misalnya menyatakan tidak mengakui hasil Pemilu/Pilpres 2024.

Sidang Gugatan Hasil Pemilu 2019 di MK (Foto: Antara)
Sidang Gugatan Hasil Pemilu 2019 di MK (Foto: Antara)
T: Mungkinkah MK memutuskan Pemilu/Pilpres 2024 tidak sah, sehingga seluruh proses Pemilu 2024 dibatalkan?

J: Kemungkinan MK untuk menyatakan Pemilu 2024 tidak sah sangat sulit. Perlu pembuktian yang kuat, misalnya salah satu paslon terbukti melanggar UUD 1945 atau adanya kejadian yang luar biasa, seperti pengerahan aparat keamanan negara di hampir seluruh wilayah (desa, kabupaten/kota, provinsi) di Indonesia untuk meneror dan mengintimidasi rakyat, petugas TPS, dan pejabat KPU ketika melakukan kegiatan pemungutan/penghitungan suara. Kalau terbukti misalnya satuan tentara dengan senjata mengepung gedung KPU saat penghitungn suara, bisa saja MK menyatakan pemilu tidak sah.

T: Mengenai Hak Angket DPR RI?

J: Hak Angket adalah soal politik. Itu hak istimewa DPR untuk bertanya kepada penyelenggara negara. Tidak ada kaitan langsung dengan pelaksanaan Pilpres 2024, meskipun kalau dihubung-hubungkan, bisa saja ada irisannya, misalnya soal keputusan MK yang membolehkan calon wakil presiden berusia di bawah 40 tahun asalkan memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau mungkin juga isu soal pembagian Bansos yang diduga memiliki pengaruh besar dalam pemenangan pasangan paslon tertentu. Namun bagaimanapun, Hak Angket DPR tidak bisa mengubah ketetapan KPU soal hasil pileg dan pilpres 2024.

T: Berdasarkan hasil hitung cepat semua lembaga survei dan hasil real count KPU, pasangan Prabowo-Gibran memperoleh suara lebih dari 58 persen, sedangkan kompetitornya Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud MD memperoleh sekitar 24 persen dan 17 persen. Bagaimana Anda melihat hal ini?

J: Secara fakta berdasarkan hasil hitung cepat lembaga survei dan real count KPU, meskipun belum resmi karena masih sementara, pasangan Prabowo-Gibran harus diakui mendapat dukungan dan kepercayaan besar dari rakyat. Perolehan suaranya cukup jauh dengan pasangan lain.

Sejak pilpres 2004 secara langsung, angka hasil hitung cepat lembaga survei selalu tidak berbeda jauh dengan angka hasil real count KPU dan hasil hitung manual berjengjang KPU berdasarkan bukti asli C Plano. Secara empiris dalam beberapa kali pilpres, hasil hitung cepat lembaga survei dan hasil hitung manual KPU tidak akan berbeda jauh.

Kita ingat Pilpres 2009 ketika pasangan Megawati-Prabowo dan relawan PDIP melakukan tekanan berat terhadap KPU, namun KPU tetap menetapkan Soesilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebagai pemenang, dan pasangan Megawati-Prabowo serta pasangan JK-Wiranto harus patuh aturan hukum. Sidang gugatan sengketa hasil pemilu 2009 di MK itu dipimpin Ketua MK Mahfud MD yang kini jadi peserta pilpres 2024 berpasangan dengan Ganjar Pranowo.

Demo Gugat Dugaan Kecurangan Pemilu 2019 (Foto: JPNN)
Demo Gugat Dugaan Kecurangan Pemilu 2019 (Foto: JPNN)
Hal sama terjadi pada Pilpres 2019 ketika pasangan Prabowo-Sandiaga Uno kalah dari pasangan Jokowi-M. Amin. Saat itu benar-benar menegangkan, namun tekanan sebesar apa pun, tidak menggoyahkan KPU untuk menetapkan Jokowi-M. Amin sebagai pemenang. Betapapun kecewanya, Prabowo-Sandi harus menerima dan patuh terhadap keputusan KPU atas nama UU dan atas nama keadilan.

T: Menurut Anda, perlukah pemilu legislatif dan pilpres disempurnakan?

J: Berkaca dari pengalaman pemilu sejak tahun 2004, maka disarankan para pakar hukum, praktisi hukum, akademisi, pengamat politik, dan tokoh-tokoh berpengaruh, melakukan telaahan pemilu secara menyeluruh dan memberikan sumbangan pemikiran tentang perubahan pemilu mendatang.

Misalnya kewenangan Bawaslu diperkuat, dibuat UU Pidana Pemilu yang tegas untuk mengadili semua pelanggaran pemilu, termasuk aturan agar ASN dan pejabat negara tidak masuk dalam tim sukses atau berpihak kepada salah satu peserta pilpres. Soal pemasangan atribut dan baliho parpol dan calon anggota legislatif juga harus diatur dengan lebih baik. (yss)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun