Makelar politik seperti ular, jenisnya beraneka ragam. Ada yang seperti ular air dan ular tanah, ada juga yang seperti ular piton dan ular kobra. Ada yang berbisa dan mematikan, patukan politiknya membahayakan. Ada yang tidak begitu berbisa, sekedar mengais uang recehan.
Makelar politik pun mengenal gradasi sifat. Ada yang tengil, barbar, dan tanpa tedeng aling-aling mengakui kalau dirinya makelar politik. Dan, maaf saja, bukan berarti saya mau membenarkan profesi antik ini, tetapi sejauh yang saya tahu, ada makelar politik yang disegani, dan ada makelar politik yang tarafnya menjijikkan. Mereka, seperti para Don di film-film mafia, ada yang tampil elegan, tetapi banyak pula bertindak serampangan.
Para makelar politik yang bersifat tengil, banyak yang mengorbankan kawan-kawan dekatnya untuk “dijual”, apalagi kawan-kawan jauh. Mereka menghisap, menginjak, dan menistakan para korban jauh melesak ke dalam tanah. Tetapi para makelar politik yang elegan, seperti para Don yang terkesan baik, dia menawarkan persahabatan, hangat dan penuh perhatian kepada kawan-kawan yang baru dikenal, apalagi kawan-kawan dekat. Mereka akan datang pertama kali ketika koleg mereka sakit, akan mengulurkan tangan paling cepat ketika dibutuhkan.
Jangan berpikir bahwa menjadi makelar politik itu gampang. Saya kenal begitu banyak orang yang berambisi menjadi makelar politik, tetapi gagal. Cukup menyedihkan. Kalau ingin menjadi dokter atau penulis banyak yang gagal, ah sudahlah. Mereka ini, sudah cita-citanya jadi makelar politik, gagal lagi. Aduh…..
Modal menjadi makelar politik juga tidak main-main. Kalau Anda dulu seorang pemberontak, pimpinan aktivis mahasiswa, lalu banting setir menjadi makelar politik dengan alasan apapun, mungkin Anda langsung menjadi Don kecil. Tetapi kalau Anda dulu seorang aktivis mahasiswa di barisan paling belakang, tugasnya menyebarkan selebaran dalam eksemplar terbatas, kalau bentrok berada di belakang, tidak pernah membacakan pernyataan politik apalagi diwawancarai wartawan, gelanggang makelar politik akan penuh suluh berduri.
Tetapi, banyak pula makelar politik yang, demi segera mendapatkan posisi penting, perlu mengubah masa lalu mereka. Kalau sedang demonstrasi dan kemudian aparat datang, sudah mulai ngacir dengan berbagai alasan, tiba-tiba bisa muncul lagi, berganti kulit seperti ular, dan mengaku tokoh penting gerakan mahasiswa. Cara yang ditempuh bermacam-macam. Dari sekedar membumbui masa lalu mereka, sampai membayar orang untuk mengiyakan masa lalu mereka.
Kalau Anda berjumpa dengan para makelar politik, Anda harus memasang radar waspada pada tingkat maksimum. Apa yang Anda bicarakan, bisa segera disulap menjadi sebentuk proposal yang bakal menggembungkan saku mereka.
Mereka sangat hobi dengan konflik dan pertarungan, terutama tingkat elit. Kalau ada politikus papan atas yang sedang bertarung, itu merupakan momentum emas yang harus segera disambar. Jika Anda bersama mereka, mungkin Anda akan mendengar kalimat ini, “Kita ini kan Pramuka…” Jika Anda tanya maksudnya apa, jawabannya, “Di sini senang, di sana senang.” Saya, tidak sedang menghina Pramuka, tetapi itu tadi istilah yang sangat familiar di kalangan makelar politik.
Suatu saat, ada seorang kawan lama saya yang telah cukup lama menggeluti dunia makelar politik. Setiap hari, ia selalu mengampanyekan kebusukan seorang politikus. Saya sampai sebal, sebabnya sederhana, alasan yang dijelentrehkan sangat tidak masuk akal. Di pertemuan yang entah ke berapa, dan kebetulan hanya ada saya dan dia, saya bertanya, sebetulnya apa yang membuatnya begitu suka mengampanyekan kebusukan politikus tersebut. Sambil tersenyum ia menjawab, “Gua kagak pernah mencicipi duitnya!”
Kalau di antara mereka bertemu, Anda mungkin akan mendapatkan hiburan segar dengan guyon-guyon yang aneh. Suatu misal, ada seorang makelar politik yang mengejek makelar politik lain. “Untuk apa ia merapat ke Si A? Paling-paling juga hanya dapat handuk.” Anda pernah ikut lomba tujuhbelas Agustus, kan? Biasanya para juara harapan, akan mendapat hadiah handuk.
Menjadi makelar politik, itu artinya Anda harus melatih kelicinan dan kelincahan lidah. Menyanjung, menjilat, mengejek, memfitnah, membuat gosip, menciptakan mitos, harus benar-benar Anda kuasai. Selebihnya, Anda butuh banyak pergaulan, membaca koran kuning, dan melebih-lebihkan berita politik.
Untuk menyebut profesi ini, para makelar politik pun punya ciri, masing-masing. Ada yang terang-terangan mengaku makelar politik, ada pula yang sok meminjam istilah bahasa Inggris dengan menyebut diri ‘broker’, ada pula yang selalu bilang dirinya negosiator, dan tidak sedikit pula yang menyebut diri sendiri sebagai politikus.
Loyalitas adalah istilah haram bagi mereka. Kemarin bersama si A, sekarang bermain dengan si B, besok berada di kubu si C. “Deret bilangan nol di belakang sebuah angka adalah majikan gua,” begitu pengakuan salah satu makelar yang kerap saya lihat, saat ia sedang dikelilingi para cecungguknya. Dan orang itu pula, yang sejak dulu selalu bilang ke saya, hukum utama seorang makelar politik adalah PMP, sebuah istilah plesetan untuk Pren Makan Pren alias teman makan teman.
Suatu kali, karena tidak tahan atas sebuah pertanyaan yang lama ngendon di hati saya, ketika orang tersebut sedang berkumpul bersama para cecungguknya, saya tanya dia dengan hati-hati, “Bung, apakah di hati kecilmu, apa yang kamu lakukan itu membuatmu tenang?”
Mendengar pertanyaan saya, si makelar politik itu langsung terdiam. Mukanya tertunduk, dan saat ia mendongak, saya melihat kemurungan menyelimuti wajahnya. Saya hampir mendesis: Ah, makelar juga manusia…
Ia kemudian menjawab, “Hidup ini keras, Coy. Negara ini penuh dengan para bajingan seperti gua. Dan gua ini hanya pemain kecil. Kelas gua ini hanya untuk menghidupi anak-bini.”
Kejadian itu hanya beberap detik, dan saya seperti menemukan sebuah momen puitik. Tetapi segera, wajah si makelar politik berubah, kembali berkoar soal cara mengeruk angka.
Saya tentu tidak tahu, apakah di saat ia tertunduk dan raut mukanya menunjukkan penyesalan, ia sedang jujur atau tidak. Mungkin ia jujur. Mungkin pula ia tidak jujur. Kalau tidak jujur, berarti memang ada satu lagi yang harus pintar dilakukan seorang makelar politik: berlatih jadi bunglon. Kalau ia jujur, bukan berarti tindakannya bisa dibenarkan.
Sebelumnya saya bergaul dengan makelar politik untuk sebuah tujuan yang tidak bisa saya bagi di sini, salah seorang sahabat saya berpesan, “Pertama yang kamu harus lakukan jika kamu bergaul dengan para makelar politik adalah simpan kepercayaanmu atas kebaikan manusia di dalam sebuah peti besi yang terkunci, dan buang kuncinya ke laut.”
Saya melakukan nasihat itu.
Puthut EA
31 Desember 2008
Terimakasih Mas Puthut, telah mengizinkan saya untuk menyebarluaskan bagian dari bukunya yang menggemaskan.
AYP
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H