Seorang laki-laki bersemangat mengayuh sepedanya pagi itu. Si penunggang sepeda sangat bersemangat karena hari itu adalah hari pertamanya bertugas sebagai pengantar surat.. alias tukang pos. Nampak kegembiraan di wajahnya saat si penerima surat membuka surat yang diantarnya dan ternyata isi surat itu adalah berita gembira. Akhirnya.. giliran rumah bupati Jepara yang ia sambangi dalam rangka mengantar surat. Keluarga sang Bupati sedang bersiap untuk foto bersama. Surat yang di bawa si pengantar surat diberikan kepada anak Bupati yang namanya tercantum di amplop surat. Anak Bupati itu bernama Kartini. Inilah awal dari film Surat Cinta Untuk kartini, yang saya saksikan bersama teman-teman Kompasianer tanggal 15 April 2016 kemarin.
Bila kita bicara soal Kartini pasti nggak lepas dari kata emansipasi. Cerita Kartini sudah sangat familiar bagi kita. Untuk mengangkat cerita tentang Kartini ke sebuah film butuh hal-hal kreatif yang akan membuat penontonnya tidak merasa bosan, karena cerita soal Kartini sudah “mendarah daging” di kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu saya salut dengan film Surat Cinta Untuk Kartini yang mengangkat cerita Kartini dari sisi seorang pengantar surat.
Cerita selanjutnya bergulir. Kartini ingin wanita Jawa itu pandai, nggak cuma bisa masak dan urus rumah, tapi harus punya pemikiran yang maju ke depan. Untuk jaman saat Kartini hidup, pemikiran ini merupakan pemikiran yang terbilang aneh, out of the box. Tapi dengan latar belakang kehidupan Kartini yang anak bangsawan, yang sempat mengenyam pendidikan hingga mampu menulis dan membaca bahasa Belanda, pemikiran ini dimaklumi adanya.
Sang pengantar surat, Sarwadi namanya, mendukung usaha Kartini awalnya bukan karena mengerti dengan pemikiran Kartini, tapi karena modus. Iya modus. Kartini adalah seorang gadis yang cantik, lembut, pintar... perfect deh pokoknya. Seorang laki-laki normal sangat mudah dibuat terpesona oleh seorang Kartini. Tak terkecuali Sarwadi, duda beranak satu yang telah ditinggal mati istrinya. Jadi modus itu udah ada dari jaman Kartini pemirsa.
Sarwadi membantu Kartini menyediakan tempat, di mana ia bisa mengajar anak-anak desa yang nggak bisa mengenyam pendidikan tinggi seperti dirinya. Salah satu anak itu adalah Ningrum, bocah berusia 7 tahun, anak Sarwadi. Modusnya tingkat dewa kan hehehe. Nggak mudah mengajak anak-anak desa lainnya untuk belajar bersama Kartini. Kebanyakan para orang tua melarang anaknya belajar karena kegiatan itu nggak ada gunanya. Hingga Kartini sendiri yang harus menemui para orang tua agar mengijinkan anaknya belajar. Cara ini berhasil, beberapa anak mau datang untuk belajar.
Cerita selanjutnya terjadi seperti apa yang telah kita ketahui selama ini. Kiprah Kartini sebagai guru harus berakhir karena orang tuanya memaksanya untuk menikah. Bupati Rembang yang sudah punya 3 istri akan menjadi suami Kartini beberapa saat lagi. Tak kuasa menolak, Kartini menerima pinangan sang Bupati Rembang dengan beberapa syarat, yaitu tidak mencuci kaki suami yang ada dalam adat istiadat pernikahan Jawa, tidak mengadakan resepsi yang meriah dan suami harus mendukung kiprah Kartini untuk memajukan para wanita Jawa.
Sarwadi patah hati dengan keputusan Kartini untuk menikah. Momen saat Sarwadi patah hati dan memohon Kartini untuk menolak pinangan Bupati Rembang cukup mengharukan. Sarwadi menuduh Kartini tidak serius dengan cita-citanya. Sarwadi memang jatuh cinta berat dengan Kartini. Proses jatuh cintanya Sarwadi di film ini dibuat dengan lucu dan berbanding terbalik dengan saat Sarwadi patah hati. Apalagi suasana pedesaan tempat film ini dibuat sangat indah.. bikin tambah melow aja liatnya.
Akhirnya pernikahan Kartini tetap terjadi. Sarwadi keluar dari pekerjaannya sebagai pengantar surat. Ia membawa Ningrum pergi dari Jepara dan pindah ke kota lain. Kehidupan di Jepara, selesai buat Sarwadi. Mujur, teman akrab Sarwadi yang ketemu jodoh gara-gara sehari menggantikan tugas Sarwadi, nggak kuasa melarang sahabatnya. Bye bye Jepara.
Namun cinta sejati nggak bisa mati. Suatu hari, Sarwadi mengajak Ningrum untuk menengok Kartini di Rembang. Ia ingin tau bagaimana kabar Kartini Sekarang. Tiba di Rembang, Sarwadi langsung mendapat kabar buruk. Kartini telah wafat 4 hari setelah melahirkan anaknya yang pertama. Tragis buat Sarwadi.
Film Surat Cinta Untuk Kartini penuh dengan suasana kampung Jepara di jaman itu yang begitu memesona. Betapa asrinya lingkungan kampung jaman dahulu kala. Meski Kartini hidupdi jaman penjajahan Belanda yang terkenal kejam. Namun kekejaman Belanda di film ini cuma terlihat pada reaksi noni-noni Belanda yang tidak suka Kartini membawa Ningrum dan Sarwadi ke pantai yang sudah jelas terpampang larangan di situ. Larangan untuk anjing dan pribumi datang ke pantai itu.
“Kekejaman” malah diperlihatkan oleh orang pribumi, pakdhe Kartini. Yang marah dan menolak keras niat Kartini dan adik-adiknya untuk mendapatkan beasiswa ke negeri Belanda. Kejamnya nggak ekstrem sih tapi. Cuman marah-marah doang. Jadi dengan tidak adanya kekerasan yang ekstrem terjadi di film ini juga dengan adanya pembelajaran yang ada di film ini, film yang dibuat oleh MNC Pictures dan disutradari oleh Azhar Kinoi Lubis ini cocok untuk ditonton bersama-sama keluarga. Akting para pemainnya juga oke punya. Chicco Jerikho, Rania Putrisari, Ence Bagus, Doni Damara dan Christabelle Grace Marbun yang berperan sebagai Ningrum, memainkan tokoh-tokoh di film Surat Cinta Untuk Kartini dengan penjiwaan yang luar biasa.