[caption id="attachment_264416" align="aligncenter" width="500" caption="Pak Beye dan Politiknya (dok.yyt)"][/caption] " ... Setelah tersenyum senyum semoga gelisah hadir." Begitulah kalimat yang ditulis mas Inu, si penulis buku Pak Beye dan Politiknya di buku yang dikirimkan kepada saya. Dan harapan itu terkabul karena setelah menamatkan buku itu gelisah yang terasa sejak buku pertama bukannya berkurang malah makin menjadi. Buku kedua ini lebih "seram" ternyata. Saya coba berbagi kegelisahan itu kepada Anda, karena gelisah ramai ramai lebih enak daripada gelisah sendirian. Bukan begitu bukan ? [caption id="attachment_264418" align="aligncenter" width="500" caption=""... semoga kegelisahan hadir" (dok.yyt)"][/caption] Menurut Anda berapa harga sebuah kesempurnaan ? Jawabannya pasti berbeda beda dan relatif pula. Bila merujuk kepada kesempurnaan seorang pak Beye sebagai orang nomer satu di negeri kita, kesempurnaan itu mahal harganya. Bukan cuma dari segi dana. Tapi juga dari segi waktu dan hal-lain yang tak bisa di nilai dengan uang. Kepercayaan ! yap... kepercayaan rakyat padanya hingga dalam 2 periode pak Beye duduk dalam singgasana eh.. kursi kepresidenan maksud saya. Dalam buku ini tak ada satu katapun yang menuliskan berapa persisnya dana pak Beye menuju kesempurnaan. Si penulis mengajak kita menebak saja, dengan banyaknya petunjuk yang diberikan. Contohnya dalam soal kampanye pilpres. Betapa banyaknya alat pendukung kampanye yang bertebaran hingga disebut para pendukung (atau terpaksa datang mendukung kerepotan membawa pulang pernak pernik kampanye itu. Bila sudah dibawa pulangpun segala alat pendukung itu masih juga bertebaran di lokasi tempat pak Beye menebar janji. Anda bisa mengira berapa dana yang digunakan buat mencetak dan membuat segala alat pendukung yang demikian banyaknya. Juga untuk barisan bis besar dengan 10 pelantang di atasnya, barisan bendera Partai Demokrat yang mengalahkan banyaknya bendera merah putih, artis artis ngetop dan lain-lain yang bila Anda mau lebih jelas baca saja bukunya atau berselancar ria di lapaknya mas Inu. Di acara TV One yang membedah buku mas Inu ( sekilas tentang buku mas Inu kalo menurut saya, karena lebih banyak iklan dan hal hal penting lainnya yang membuat buku mas Inu makin tidak penting ), mas Anas Urbaningrum mengatakan bahwa dana yang dikeluarkannya untuk mencapai kursi pimpinan Demokrat hanya "sedikit", kurang dari 600 juta rupiah. Saya tak setuju bila 600 juta itu sedikit. Puluhan tahun bekerja saya tak pernah berhasil melihat fisiknya 600 juta rupiah ( ini derita saya ya ? ). Kalau trilyunan pernah.. pernah menghitung dalam angka maksudnya. Sebuah acara di televisi tetangganya TV One, yang kebetulan acaranya di putar berbarengan, menambah keyakinan saya bahwa 600 juta rupiah itu sangat banyak. Karena para orangtua di acara itu hanya membutuhkan uang di kisaran jutaan saja untuk menyelamatkan nyawa anaknya yang sakit dan di tolak rumah sakit karena ketiadaan biaya. Yang sayangnya tak sempat terkumpul karena sang buah hati keburu kembali ke pangkuan Sang Maha Kuasa. Jadi mas Anas... 600 juta itu banyak. Lalu dana untuk pak Beye sendiri ? hmmm.... saya tak tahu pasti. Yang pasti dana itu sanggup membirukan Indonesia di pilpres kemarin. Bahkan di banyak daerah pencapaian si biru di atas 90 %. Dulu saya cukup optimis dengan pencapaian ini. Rakyat Indonesia memilih yang terbaik dari 3 pilihan yang ada sepertinya. Hingga buka bukaan nya mas Inu ( dalam tulisan pastinya ) menjungkirbalikan keyakinan saya. Bahwa kesempurnaan yang ada terlalu sempurna. Dan patut dipertanyakan mestinya. Kok berasa balik ke jaman orde baru ya. Mungkin benar... karena sejarah itu pengulangan katanya. Hingga rakyat yang kemudian mengalami kekecewaan berulang sudah jadi biasa dan terbiasa. Nasi sudah jadi bubur dan gak mungkin akan jadi roti. Pilpres yang hasilnya sudah kita tahu, dan sudah kita rasakan juga manfaatnya ( ada manfaatnya kan ? ), memang harus kita terima sebagai perjalanan sejarah bangsa kita. Tertulis dalam tinta emas, merah, hitam atau apapun warnanya, ada kita termasuk di dalamnya. Jadi saya tetap memilih Indonesia sebagai satu satunya negara tumpah darah saya, dan tak akan memilih negaranya Obama sebagai negara saya, walaupun pak Beye merasa punya kedekatan dengannya. Jadi biarkan saja pemimpin kita melakukan tugasnya dengan cara yang terbaik menurutnya. Biarkan mereka lakukan hal yang menurut mereka akan membuat Indonesia ada dalam kondisi yang lebih baik. Kita juga punya tugas untuk membuat masa depan kita, masa depan anak-anak serta cucu kita jadi lebih baik. Foto di bawah ini saya pinjam dari mas Inu ( belum ijin pada mas Inu tapi saya yakin mas Inu tak keberatan ). Ada kata-kata menarik di dalamnya yang terus berkelebat di pikiran saya menemani saya menjelajahi kalimat dalam Pak Beye dan Politiknya, "Teruslah bekerja jangan berharap pada negara. " Mari bekerja. [caption id="attachment_264440" align="aligncenter" width="500" caption="( bukan ) Republik Gelap ( dok. Wisnu Nugroho )"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H