Ada yang berubah ketika saya melewati lampu lalin di dalam perjalanan saya ke kantor.
Di beberapa ruas perempatan yang saya lewati lampu merahnya dipasangi alat pengatur
waktu ( maaf kalau saya salah menyebutnya ). Itu lho alat yang di layarnya tertulis
angka-angka yang bergerak mundur sebagai tanda berapa lama lagi lampu yang merah
berganti hijau atau sebaliknya. Dulu alat seperti ini hanya ada di lampu merah jalan protokol,
tapi sekarang di jalur alternatif yang jalannya nggak begitu besarpun terpasang juga.
Cukup bermanfaat menurut saya. Saya bisa perkirakan kapan harus bersiap-siap berhenti atau
bersiap-siap tancap gas. Maklum selama ini saya sering lupa kalau lampu lalin itu ada yang
berwarna kuning. Tapi sayangnya, seperti alat-alat lain yang sering dipasang untuk
mempermudah kita, seperti alat ini atau alat pengukur polusi udara yang dulu dipasang
ketika kota kita sedang gencar melawan polusi udara, kegunaannya nggak bertahan lama.
Seperti alat di lampu lalin jalan protokol itu belum 6 bulan terpasang sudah mati.
Lalu alat yang di lampu merah jalan alternatif yang saya lewati belum sebulan terpasang
tapi sudah hidup segan mati tak mau.
Saya nggak tau apa yang salah dari pemasangan alat-alat ini sehingga bisa cepat nggak
berfungsi seperti itu. Sang pemasang alat mungkin lebih tahu. Cuma saya menyayangkan,
alat-alat itu kan dibeli menggunakan uang negara, yang hasilnya diambil dari uang rakyat juga,
kok sayang ya kalo terbuang percuma seperti itu.
Saya yakin harga alat-alat itu pasti tidak murah ( atau dibuat tidak murah ). Kalau kemudian
hanya jadi pajangan mbok ya cari saja pajangan lain yang lebih bagus dan berseni tinggi.
Kan lumayan untuk kita nikmati sembari menunggu lampu berganti hijau.
Salam lampu hijau
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H