Sumbernya saya ambil dari koran Berita Kota, sabtu lalu. Sementara si Berita Kota mengambil sumber lagi dari koran Tribun Jabar. Tapi saya tidak ingin membicarakan tentang koran ataupun darimana berita yang dimuat di koran tersebut diambil. Saya tuliskan ini karena tidak ingin disebut plagiat karena menulis tanpa disebutkan sumbernya. Berita yang saya baca di koran tersebut adalah mengenai murid-murid yang berjibaku ke sekolah. Bertaruh dengan satu nyawa yang mereka punya demi mengenyam pendidikan di sekolah mereka. Anak-anak itu puluhan jumlahnya. Mau tahu bertaruhnya seperti apa ? Baca terus ya... Nama kampung mereka adalah Kampung Ciseureuh, Desa sukaratu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya. Untuk sampai ke sekolahnya, mereka harus menyeberangi sungai Ciwulan yang lebarnya kira-kira 30 meter. Jangan kira menyeberangi sungai itu dilakukan dengan mudah. Justru di sini lah masalahnya. Sungai itu deras airnya, tidak ada jembatan, hanya ada besi menggantung di atas sungai. Pada besi inilah terdapat lori yang digunakan untuk menyeberang. Lori yang dimaksud hanya papan berukuran 40 x 90 cm dan tak memiliki pijakan. Pegangan satu satunya hanya pada kawat yang berfungsi sebagai pengait alas duduk ke roda lori di besi yang menggantung tadi. Untuk pengaman, lis papan di pasang mengelilingi alas duduk supaya yang duduk disitu tidak bisa bergeser. Lori bergerak dengan cara ditarik menggunakan tambang yang penariknya berada di posisi yang lebih tinggi, sementara untuk arah sebaliknya tidak memerlukan penarik karena arahnya menurun. Bila ditarik lori yang membawa orang akan mengayun-ayun dengan kaki menggantung di udara karena tak ada alas untuk kaki. Mereka terpaksa menggunakan cara ini karena harus memutar jalan jauh bila menggunakan jalan lain dan juga ongkos angkutannya lebih mahal. Bila menggunakan lori mereka hanya perlu uang Rp. 500 untuk melanjutkan perjalanan dengan bus ke sekolah masing-masing. Lori tersebut dikelola oleh keluarga Udin ( 60 thn ) yang bertugas menarik lori bergantian dengan keluarganya yang lain. Awalnya untuk menyeberangkan batu bata dari pabrik di sekitar kampung itu, namun beberapa tahun belakangan ini digunakan untuk menyeberangkan orang. Pembangunan yang luar biasa di Jakarta dan kota besar lainnya memang tak menjangkau daerah pinggiran. Kenapa ? Saya tak hendak mencari jawab. Kalau anda punya jawabnya simpan saja ya... jangan menambahi beban mereka yang punya jabatan dan kedudukan tinggi yang mempunyai wewenang merubah keadaan anak-anak itu hingga tak lagi bertaruh nyawa demi ke sekolah. Selagi beban itu masih menumpuk di pundak para petinggi kita, mungkin lori itu sebagai pengangkut dirasa cukup sementara. Mari do'akan beban itu berkurang segera agar anak-anak itu tak lagi bertaruh nyawa. Dan do'akan juga agar anak-anak itu selamat senantiasa. Sayang bila semangat menuntut ilmu yang luar biasa harus berakhir di derasnya sungai Ciwulan. Walaupun soal umur itu bukan urusan kita. Sumbernya di Sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H