foto dari net-planet.org Untuk kesekian kali saya menginjakkan kaki di stasiun kereta Lempuyangan. Masih belum berubah penampilan stasiun tua ini. Masih agak kumuh, tidak sebagus stasiun jogja yang satunya lagi, stasiun tugu. Masih 30 menit lagi kereta ekonomi yang akan saya tumpangi berangkat. Kereta progo jurusan jakarta tujuan saya. Saya memang lebih memilih naik kereta ekonomi dalam perjalanan hilir mudik jakarta-jogja-jakarta. Tapi dengan catatan bahwa waktunya tidak bertepatan dengan hari libur nasional. Yang ada nanti saya nggak bisa menikmati perjalanan. Waktu yang tersisa saya pakai untuk menikmati suasana di stasiun ini. Stasiun lempuyangan didirikan tahun 1872, lebih dulu dari stasiun tugu, khusus melayani kereta api ekonomi. Kalau kereta api tipe bisnis atau eksekutif cuma numpang lewat saja disini. Selain kereta ekonomi, stasiun ini juga melayani kereta prameks jurusan kutoarjo-jogja-solo-palur. Mbok pedagang nasi rames banyak bertebaran disini. Duduk di ubin stasiun yang warnanya mulai menguning. Mereka mengenakan baju yang seragam. Kebaya warna hijau muda. Sedang para pedagang dengan etalase ditempatkan di dalam satu area khusus di bagian barat. Toilet disini lumayan bersih. Jangan mengharapkan toilet dengan standar tinggi disini, maklum stasiun tua. Saya bolak balik ke toilet ini. Memuaskan diri buang air kecil karena saya melarang diri untuk buang air kecil di kereta. Tau kenapa ? Toiletnya parah ! Kereta progo yang saya akan naiki selalu sesuai dengan jadwalnya. Berangkat jam 16.45. Sampai di stasiun jatinegara tujuan saya sekitar 02.30. Sehingga paginya saya bisa langsung berangkat ke kantor. On time. Suara dari pengeras suara menyadarkan saya untuk segera menaiki kereta. Sebentar lagi kereta berangkat. Saya cocokkan nomer di barisan kursi kereta dengan nomer di tiket seharga 38 ribu rupiah dalam genggaman saya. Segitu harganya ?! Yup... 38 ribu rupiah harga perjalanan jogja-jakarta. Sejurus kemudian saya sudah menikmati pemandangan di luar jendela dari tempat duduk favorit saya. Barisan tengah dan disamping jendela. Tempat duduk di samping dan di hadapan saya masih kosong. Kalau tetap kosong saya bisa berselonjor kaki disini. Ini enaknya melakukan perjalanan di hari kerja. Murah dan nyaman. Kereta berangkat tepat pada waktunya. Dan kehidupan dalam kereta dimulai. "Mbak ... nasi rames... 3.000 pake ayam." "Lanting.. lanting... !" "Kopi mbak.. pop mie.. energen..!" "Bakpia ! bakpia ! buat oleh oleh mbak.." Riuh rendah suara pedagang. Lalu lalang tak berhenti. Tapi tak mengganggu saya yang sedang menikmati hamparan padi menguning di bawah langit yang mulai jingga. Kereta ekonomi selalu berhenti di setiap stasiun yang dilewati, berbeda dengan kereta bisnis atau eksekutif yang hanya berhenti di stasiun besar. Saya menunggu kereta berhenti di stasiun kebumen. Karena mbok penjual lanting langganan saya naik di situ. Lanting yang dijual mbok ini berbumbu gurih yang tidak pernah saya dapatkan di jogja. Lanting, penganan dari singkong berbentuk angka 8 memang makanan favorit saya. Tiba di stasiun kebumen kursi kosong di depan saya bertemu dengan pemiliknya. Laki-laki seusia ayah saya dan sendirian seperti saya. Si mbok belum ada di antara pedagang yang tak henti lalu lalang. Mungkin masih di berjalan di gerbong belakang yang belasan jumlahnya. Si bapak di hadapan saya menawarkan kue bekalnya. Dengan halus saya tolak, saya belum berselera makan. Bekal dari ibu saya pun belum tersentuh sama sekali. Mungkin nanti tiba gilirannya setelah saya makan lantingnya si mbok. Itu si mbok sudah datang. Tubuh tuanya masih kuat menggendong keranjang berisi lanting. 75 tahun lho usia si mbok. Hebat ya ! Tidak lama 6 plastik lanting seharga 10 ribu rupiah berpindah ke tangan saya. Lalu berlanjut dengan 18 bungkus lagi. Yup, 2 lusin cukuplah buat dibagi-bagi ke teman kantor nantinya. Hari beranjak malam. Pemandangan di luar jendela berganti gelap. Maka yang bisa saya lihat sekarang hanyalah lalu lalang pedagang. Semoga mereka mendapat rejeki yang bagus hari ini dan bersyukurnya saya, Tuhan menempatkan saya di keadaan yang lebih baik. Dan semoga Tuhan memaafkan saya yang sering lupa bersyukur. Desember 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H