Mohon tunggu...
Ya Yat
Ya Yat Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

Penyuka MotoGP, fans berat Valentino Rossi, sedang belajar menulis tentang banyak hal, Kompasianer of The Year 2016, bisa colek saya di twitter @daffana, IG @da_ffana, steller @daffana, FB Ya Yat, fanpage di @daffanafanpage atau email yatya46@gmail.com, blog saya yang lain di www.daffana.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dear Malaysia, Mau Akui Ketoprak Tobong Kami?

18 April 2011   07:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:41 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13031114741288800047

[caption id="attachment_103180" align="aligncenter" width="640" caption="Ketoprak Tobong Kelana Bakti Budaya ketika pentas (dok.Kompas.com)"][/caption]

Untuk Anda yang berasal dari Jawa pasti Anda tahu apa itu Ketoprak Tobong. Buat Anda yang belum tahu saya kasih tahu ya. Ketoprak Tobong itu kesenian Jawa sama seperti ketoprak lainnya (pernah nonton ketoprak kan?). Lakon yang dimainkanpun sama yaitu lakon dunia perwayangan. Yang membedakan adalah ketoprak tobong pentasnya berpindah-pindah. Mereka hanya menetap di satu tempat selama 3-4 bulan. Setelah itu mereka akan pindah ke lokasi lain dengan membawa serta pemain, perlengkapan pentas, gamelan dan panggungnya. Tobong itu sendiri sebutan untuk bangunan yang digunakan sebagai tempat pentas sekaligus tempat tinggal mereka.

Di acara Kick Andy kemarin ada pemain Ketoprak Tobong yang menjadi nara sumber. Mak kamek, adalah pemain Ketoprak Tobong senior di grup ketoprak Kelana Bakti Budaya. Usianya 62 tahun. Di usia yang seharusnya sudah menikmati hidup, Mak Kamek masih pindah sana sini mengikuti Ketoprak Tobong pentas. Melihat Mak Kamek saya teringat dengan mbah putri saya yang tinggal di kampung saya di Jogja.

Usia mbah saya lebih tua, 80 tahunan. Tapi dia juga tak pernah mau duduk diam. Semua pekerjaan di lakoninya. Bahkan membopong sayuran untuk dijual ke pasar yang jaraknya puluhan kilometer dari rumahnya. Saya seringkali protes soal ini. Tapi mbah tak pernah mau mendengar saran saya untuk istirahat. Padahal kalau saya sedang tilik (menengok) ayah saya di sana, mbah saya selalu berpesan supaya saya jangan terlalu memforsir tenaga untuk bekerja. "Leren sek nduk, ngko kesel awakmu," begitu selalu katanya. Ironis ya. Kok malah jadi ngomongin mbah saya hehehe.

Kembali ke iPad eh ke ketoprak tobong, kesenian ini sedang sekarat. Ibaratnya punya penyakit akut usianya tinggal menghitung hari. Biaya penjualan tiket yang hanya lima ribu rupiah per lembarnya tak mampu menutupi biaya operasional pementasan. Pengunjungnya tak lebih dari tigapuluhan orang. Bahkan sering kali tak mendapat penonton sama sekali. Tapi pentas tetap berjalan meski tak ada penonton. Yang nonton siapa? ya para pemainnya juga yang nonton. Mak Kamek mengatakan ini di Kick Andy sambil tertawa. Saya tak bisa tertawa mendengarnya, nafas saya serasa berhenti di kerongkongan mendengarnya. Lalu penghasilannya bagaimana? Kalau ada pementasan saja penghasilannya hanya cukup untuk membeli cabai dan terasi. Lagi-lagi tercekat saya mendengarnya.

[caption id="attachment_101468" align="aligncenter" width="640" caption="Pentas Ketoprak Tobong (dok. cephasphotoforum.wordpress.com) "][/caption]

Untuk menyiasati hajat hidup yang semakin tinggi, para pemain ketoprak tobong bekerja serabutan Mereka yang lebih muda biasanya menyambi menjadi penyanyi keliling di acara-acara pernikahan. Yang lebih tua biasanya membantu penduduk di sekitar lokasi ketoprak tobong dalam hal apa saja yang bisa menghasilkan uang. Sudah tahu penghasilan dari ketoprak tobong minim kok para pemainnya masih tetap bertahan ya. Bermain ketoprak buat mereka tak hanya karena penghasilan semata. Tapi lebih karena kesenangan jiwa. Menghibur diri sendiri dan orang lain buat mereka lebih tinggi nilainya dibanding beberapa lembar rupiah yang mereka dapat. Mereka yakin Yang Maha Pemurah telah mengatur rezeki untuk mereka. Makanya mereka tak merasa susah karenanya. Sebuah keikhlasan yang luar biasa.

Sayangnya keikhlasan itu tak membuat pemerintah memberi perhatian pada mereka dan pada kesenian yang mereka bela. Saya tak tahu apakah masih pantas berharap pada pemerintah saat ini mengingat banyaknya kesenian kita yang sama terlantarnya seperti ketoprak tobong ini. Untungnya ada Malaysia yang membuat kita menyadari banyaknya kesenian yang kita punya. Jangan protes karena saya bilang "Untung ada Malaysia", bila kita tak "disadarkan" oleh mereka atas warisan budaya kita yang tak ternilai harganya maka warisan budaya ini akan hilang di telan jaman.

Dengan caranya, negara tetangga kita ini mengingatkan kita untuk menghargai warisan budaya yang kita punya. Museum Kerinci contohnya. Bila tak ada ribut-ribut tentang pembangunan museum Kerinci di Malaysia, saya yakin sedikit yang tahu bahwa kita masih punya banyak sekali benda-benda peninggalan sejarah yang berharga. Atau tentang dongeng. Kemarin dulu di Kompasiana sempat ada keributan kecil tentang dongeng kita yang "diakui" sebagai dongeng Malaysia. Itu menyadarkan kita bahwa dongeng termasuk hal yang harus dilestarikan. Beberapa teman kompasianer bahkan membentuk sebuah festival dongeng untuk melestarikannya. Anda sudah mendaftar ikut untuk acara ini belum?

Maka demi kelestarian sebuah ketoprak tobong dan kesejahteraan hidup mereka yang membelanya, saya ikhlas saja bila ketoprak tobong diakui oleh Malaysia atau negara tetangga kita lainnya. Kalau ini membuat pemerintah kita (dan kebanyakan kita) peduli pada mereka kenapa tidak? Ketoprak tobong Kelana Bakti Budaya bisa jadi tinggal satu-satunya ketoprak tobong yang masih hidup. Ayo Malaysia dan negara tetangga lainnya, akui segera sebelum kesenian ini mati. Atau pak Mentri Pariwisata kita mau curi start? Silahkan temui mereka pak, dekat kok lokasinya, di belahan Jogjakarta sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun