Mohon tunggu...
Ya Yat
Ya Yat Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

Penyuka MotoGP, fans berat Valentino Rossi, sedang belajar menulis tentang banyak hal, Kompasianer of The Year 2016, bisa colek saya di twitter @daffana, IG @da_ffana, steller @daffana, FB Ya Yat, fanpage di @daffanafanpage atau email yatya46@gmail.com, blog saya yang lain di www.daffana.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hidup Sulit dan Tanpa Listrik, Anak-anak Pulau Kei Besar Tetap Ceria

29 Oktober 2019   14:53 Diperbarui: 30 Oktober 2019   02:04 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
melihat rombongan lewat (dok.yayat)

Masih teringat gemparnya masyarakat Jakarta ketika listrik padam massal beberapa waktu lalu. Sumpah serapah mengemuka tanda kepanikan yang luar biasa. Saya salah seorang yang juga sempat marah-marah pada PLN kita. Mati listrik sejam saja bikin menderita, apalagi berjam-jam lamanya. Namun saya mengurut dada, ketika tahu saudara kita di belahan Indonesia Timur sana, terbiasa hidup tanpa listrik.

Tubuh saya sudah terasa pegal sekali, akibat berguncang-guncang dalam mobil yang membawa saya dan teman-teman media lokal Kepulauan Kei Maluku Tenggara menuju Ohoi Ad Weraur yang terletak di pelosok Pulau Kei Besar, pada 16 Oktober 2019 lalu. Bapak Bupati Maluku Tenggara, M Thaher Hanubun, mengajak kami mendatangi Ohoi Ad Weraur sore itu. Kami naik mobil dan pak Bupati menyusuri jalan menggunakan motor trail.

Kami berangkat sore hari, sekitar jam 4 waktu setempat dari Elat pulau Kei Besar. Sejam sebelumnya, kami baru turun dari kapal motor yang membawa kami menyeberang dari Pulau Kei Kecil.

Ya, Ohoi Ad Weraur adalah salah satu Ohoi (sebutan untuk desa) dari 101 Ohoi yang berada di Pulau Kei Besar. Pulau Kei Besar ditempuh selama satu jam menggunakan kapal motor dari Pelabuhan Langgur Pulau Kei Kecil.

salah satu rumah penduduk (dok.yayat)
salah satu rumah penduduk (dok.yayat)
Medan Berat, Mobilpun Tak Kuat Menanjak
Sejam meninggalkan kota Elat, jalan masih nyaman dilalui, meski jalannya bukan jalan mulus beraspal. Namun memasuki jam kedua, kondisi jalan mulai berbatu dan naik turun. Lebar jalan hanya pas-pasan dilalui 1 mobil. 

Saya membayangkan jika berpapasan dengan mobil lain, maka entah siapa yang harus mengalah, karena sisi kanan dan kiri jalan adalah hutan lebat. Untungnya, rombongan kami adalah satu-satunya rombongan yang lewat di jalan itu menggunakan mobil.

Beberapa kali kami melewati sebuah Ohoi. Jarak ohoi satu dengan yang lainnya terbilang jauh. Para penduduk Ohoi yang kami lewati menatap heran ketika kami lewat. 

Mungkin rombongan mobil kami adalah satu-satunya rombongan mobil yang lewat setelah beberapa waktu lamanya. Anak-anak kecil melambaikan tangan dan saya balas dengan lambaian tangan pula dari dalam mobil. Saya tak peduli jika mereka tak melihatnya.

Dua jam lewat namun Ohoi yang kami datangi belum juga nampak. Saya mulai gelisah dan khawatir karena hari mulai gelap. Meski datang beramai-ramai, namun saya dilanda kekhawatiran juga. Takut terjadi apa-apa di jalan dan sinyal telepon menghilang. Mau minta tolong sama siapa nantinya? Sementara jalan yang kami lalui kian sempit dan kian tak berbentuk seperti jalan.

tanahnya berbatu batu besar (dok.yayat)
tanahnya berbatu batu besar (dok.yayat)
Berkali saya tanya pada pak Alif, sopir yang mengantar rombongan kami. "Nyasar nggak?" Tanya saya.

Pak Alif bilang, jalannya cuma ini jadi nggak mungkin nyasar.

Dua mobil rombongan sudah tak terlihat dan mobil kami adalah mobil di barisan terakhir. Dua rombongan mobil di depan ngebut mengejar pak Bupati yang menggunakan motor trail. Mereka adalah staff dan ajudan pak Bupati.

Sepanjang jalan, tiang listrik berdiri. Ada yang masih tegak, ada pula yang sudah miring, hampir rubuh. Sayangnya tiang listrik ini hanya pajangan, karena satu-satunya penerangan yang ada hanyalah lampu sen dari mobil kami. 

Saya berbaik sangka, mungkin tiang listrik hanya untuk mengalirkan listrik ke para Ohoi. Percuma menerangi jalanan yang bukan berbentuk jalanan karena toh jarang juga yang melewati jalan ini, begitu pikir saya.

penduduk Ohoi yang kami lewati (dok.yayat)
penduduk Ohoi yang kami lewati (dok.yayat)
Di beberapa tanjakan, beberapa orang harus turun dulu karena mobil tak kuat menanjak. Jalan menanjak sangat curam dan berbatu-batu pula.

Padahal, mobil yang kami naiki adalah mobil jeep yang biasa ditunggangi untuk offroad. Jika menggunakan mobil semacam city car, mungkin mobil sudah mogok sejam yang lalu. Sebegitu beratnya medan jalan yang kami lalui.

Sembari merasakan pegal di badan, saya membayangkan betapa sulitnya kehidupan orang-orang di daerah ini. Bagaimana mereka hidup ya? Tak mungkin dengan bekerja bercocok tanam karena lahan penuh bebatuan besar. Hanya pohon-pohon tahan banting yang bisa hidup di sini. Mungkin mereka hidup dari menangkap ikan, karena Pulau Kei Besar dikelilingi lautan.

Penderitaan saya berakhir ketika di kejauhan terlihat kelap-kelip cahaya. Saya dan teman-teman yang merupakan rombongan terakhir segera turun. Saya luruskan kaki sejenak kemudian berjalan ke arah keriuhan. 

Pak Bupati Thaher Hanubun sedang disambut oleh tarian yang ditarikan oleh sekelompok anak-anak kecil. Cahaya yang saya lihat bukanlah cahaya listrik, melainkan cahaya dari lampu darurat dan senter telepon genggam.

melihat rombongan lewat (dok.yayat)
melihat rombongan lewat (dok.yayat)
Tarian penyambutan selesai, rombongan pak Bupati berjalan menuju lokasi acara yang berupa lapangan kecil dan berada di tengah ohoi. Lapangan yang tak besar ini disinari cahaya lampu. Akhirnya saya bertemu dengan cahaya listrik. 

Di sekelilingnya ada rumah-rumah penduduk. Yang langsung menarik perhatian saya adalah begitu banyak anak-anak kecil di sini. Jumlahnya mungkin lebih banyak dari orang dewasa. Anak-anak ini kisaran setahun sampai 12 tahunan.

Tanpa Listrik sudah Biasa dan Tetap Ceria
Listrik yang saya lihat ternyata berasal dari mesin diesel yang ada di dekat lapangan. Mesin ini berbahan bakar solar dan listrik nyala secara terbatas hanya beberapa jam sehari, terutama saat malam.

Jika solarnya habis, maka listrik padam sampai mesin diisi solar lagi. Karena terbatas, maka listrik tak bisa dinikmati oleh seluruh penduduk ohoi ini. Listrik hanya untuk hal-hal yang penting saja.

Lalu.. tiang-tiang listrik yang berdiri di sepanjang jalan itu buat apa ya? Hanya buat pajangan? Atau sindiran bahwa di daerah lain listrik nyala sempurna? 

Tiang-tiang listrik ini bukan baru saja didirikan tapi sudah bertahun lamanya ada. Nyata dengan banyaknya tiang listrik yang sudah berkarat. Mungkin jawaban dari apa fungsi tiang listrik di sini hanya bisa dijawab oleh pejabat terhormat di kantor pusat.

para ibu guru hadir juga malam itu, berjalan kaki berkilo kilo menuju lokasi (dok.yayat)
para ibu guru hadir juga malam itu, berjalan kaki berkilo kilo menuju lokasi (dok.yayat)
Anak-anak begitu ceria menyambut tamu yang datang padahal jam sudah menunjukkan lewat jam 7 malam dan anak-anak ini sudah menanti kami sejak siang, karena awalnya memang kami dijadwalkan siang hari tiba di sini. 

Tapi karena pak Bupati Thaher Hanubun ada rapat mendadak dengan DPRD maka kami tiba terlambat. Keceriaan anak-anak sungguh mengusik saya yang nyaris tercekat tak bisa berkata-kata ketika berbicara dengan mereka.

"Sekolah kelas berapa?"

"Kelas satu ibu! Kelas enam ibu!" berbarengan mereka menjawab dengan suara yang begitu bersemangat.

"Cita-cita kalian apa hayoo?"

"Jadi bidan buuuuu! Jadi polwan buuuuu! Jadi tentara buuuuuu!" berbarengan lagi mereka menjawab.

Saya seperti tenggelam dikelilingi anak-anak yang menjawab pertanyaan saya dengan berteriak saking semangatnya. Saya ajak mereka bercanda, bukan untuk menghibur mereka, tapi agar saya tak meneteskan air mata.

Terlebih ketika mereka bilang, mereka tak menikmati listrik dan lampu yang ada di rumah menggunakan pelita, lampu berbahan bakar minyak.

anak-anak yang terbiasa hidup keras, saya nggak termasuk diantaranya (dok.yayat)
anak-anak yang terbiasa hidup keras, saya nggak termasuk diantaranya (dok.yayat)
Mereka belajar dengan penerangan seadanya. Sekolahpun jalan kaki berkilo-kilo jauhnya. Menempuh jalan terjal berbatu, sempit dan sepi. Nggak takut? Tanya saya. 

Dijawab dengan semangat "Tidak ibuuuuuu!" Rumah sakit juga jauh lokasinya dari sini. Kalau sakit parah, mereka harus ke kota terdekat untuk berobat diantar dengan speedboat yang sudah pasti mahal ongkosnya karena jalan darat teramat rusak dan akan lama tiba di rumah sakit terdekat.

Tanpa listrik, praktis kegiatan di malam hari jadi terbatas. Selain kendala listrik, tak ada sinyal internet yang masuk ke desa ini. Telepon yang digunakan murni hanya untuk berbicara dan ber-SMS. Itupun sinyal Telkomsel, satu-satunya provider yang bisa digunakan di Kepulauan Kei, lebih banyak off nya daripada on nya. 

Karena itu anak-anak di sini terlihat kurus tapi sungguh cekatan. Mereka terbiasa bergerak dan tak duduk diam memainkan gadget. Anak-anak ini seperti hidup di belahan dunia yang lain. Padahal mereka di wilayah yang sama seperti saya, Indonesia.

Saya ceritakan tentang Jakarta ketika mereka bertanya dari mana asal saya. Lalu ketika saya tanya, ada pesan apa untuk teman-temannya di Jakarta? Mereka bilang, mereka ingin teman-temannya di Jakarta datang ke sini dan mereka akan ajak teman-teman Jakarta menyambangi air terjun yang luar biasa indahnya. Sungguh niat yang baik yaaaa...

mengadu pada pak Bupati (dok.yayat)
mengadu pada pak Bupati (dok.yayat)
Inginnya saya lebih lama bercanda dengan mereka, apa daya malam kian larut dan rombongan pak Bupati harus kembali ke Elat. Sebagian dari rombongan tak kembali ke Elat menggunakan mobil menempuh jalan rusak melainkan menggunakan speed boat yang sudah disiapkan. Saya termasuk rombongan yang kembali ke Elat menggunakan speed boat.

Ternyata di sebelah lapangan kecil ini adalah laut. Jadi kami naik speed boat dari situ. Rombongan anak-anak mengantar kepergian kami setelah sebelumnya berebutan menyalami sembari riuh mereka mengucapkan selamat jalan. Keceriaan mereka tak berkurang malam itu.

Speed boat meluncur cepat membelah laut di kegelapan malam. Teriakan ceria anak-anak Ohoi Ad Wer Aur tak terdengar lagi. Mereka pasti segera tidur dan bersiap menjalani hidup yang keras lagi esok hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun