Masih teringat gemparnya masyarakat Jakarta ketika listrik padam massal beberapa waktu lalu. Sumpah serapah mengemuka tanda kepanikan yang luar biasa. Saya salah seorang yang juga sempat marah-marah pada PLN kita. Mati listrik sejam saja bikin menderita, apalagi berjam-jam lamanya. Namun saya mengurut dada, ketika tahu saudara kita di belahan Indonesia Timur sana, terbiasa hidup tanpa listrik.
Tubuh saya sudah terasa pegal sekali, akibat berguncang-guncang dalam mobil yang membawa saya dan teman-teman media lokal Kepulauan Kei Maluku Tenggara menuju Ohoi Ad Weraur yang terletak di pelosok Pulau Kei Besar, pada 16 Oktober 2019 lalu. Bapak Bupati Maluku Tenggara, M Thaher Hanubun, mengajak kami mendatangi Ohoi Ad Weraur sore itu. Kami naik mobil dan pak Bupati menyusuri jalan menggunakan motor trail.
Kami berangkat sore hari, sekitar jam 4 waktu setempat dari Elat pulau Kei Besar. Sejam sebelumnya, kami baru turun dari kapal motor yang membawa kami menyeberang dari Pulau Kei Kecil.
Ya, Ohoi Ad Weraur adalah salah satu Ohoi (sebutan untuk desa) dari 101 Ohoi yang berada di Pulau Kei Besar. Pulau Kei Besar ditempuh selama satu jam menggunakan kapal motor dari Pelabuhan Langgur Pulau Kei Kecil.
Sejam meninggalkan kota Elat, jalan masih nyaman dilalui, meski jalannya bukan jalan mulus beraspal. Namun memasuki jam kedua, kondisi jalan mulai berbatu dan naik turun. Lebar jalan hanya pas-pasan dilalui 1 mobil.Â
Saya membayangkan jika berpapasan dengan mobil lain, maka entah siapa yang harus mengalah, karena sisi kanan dan kiri jalan adalah hutan lebat. Untungnya, rombongan kami adalah satu-satunya rombongan yang lewat di jalan itu menggunakan mobil.
Beberapa kali kami melewati sebuah Ohoi. Jarak ohoi satu dengan yang lainnya terbilang jauh. Para penduduk Ohoi yang kami lewati menatap heran ketika kami lewat.Â
Mungkin rombongan mobil kami adalah satu-satunya rombongan mobil yang lewat setelah beberapa waktu lamanya. Anak-anak kecil melambaikan tangan dan saya balas dengan lambaian tangan pula dari dalam mobil. Saya tak peduli jika mereka tak melihatnya.
Dua jam lewat namun Ohoi yang kami datangi belum juga nampak. Saya mulai gelisah dan khawatir karena hari mulai gelap. Meski datang beramai-ramai, namun saya dilanda kekhawatiran juga. Takut terjadi apa-apa di jalan dan sinyal telepon menghilang. Mau minta tolong sama siapa nantinya? Sementara jalan yang kami lalui kian sempit dan kian tak berbentuk seperti jalan.
Pak Alif bilang, jalannya cuma ini jadi nggak mungkin nyasar.