Kepada nastar yang dibuang,
Maafkan mereka ya, yang menganggap dirimu tak berharga dan membuangmu bagai sampah saja. Sungguh.. seandainya saya di sana, saya akan ambil dirimu dari tangan mereka dan akan saya taruh di meja, sebagai penganan hidangan Lebaran. Â
Saya tak tau apa maksudnya, nastar yang enak itu dibuang percuma. Katanya, si pembuang tak puas diberi bingkisan Lebaran yang isinya nastar saja. Yang namanya bingkisan Lebaran, harusnya banyak jumlahnya, katanya.
Entah apa salahmu. Kau kue yang jadi primadona para anak-anak yang ceria. Tak ada nastar, kurang afdol Lebaran, katanya.
Membuat mu pun tak mudah. Perlu waktu berjam-jam untuk membuat kue nastar. Dari mulai membuat adonan, membuat isian sampai memanggangnya. Kebayang deh pegelnya punggung agar kau matang sempurna.
Hujatan diberikan untuk si pembuang. Mereka dianggap tau mau bersyukur dan memandang rendah bingkisan pemberian. Tak pantas kami diberi nastar, kata mereka.
Sesungguhnya rasa syukur itu tak semua orang punya. Hanya mereka yang berjiwa besar dan ikhlas berserah pada-Nya, yang bisa menikmati rasa syukur itu.
Namun saya coba mengerti, mungkin para pekerja bosan makan kue nastar atau sudah punya nastar berdus-dus banyaknya di rumah. Hingga tak mau menerima satu toples nastar lagi.
Tapi meski begitu, saya menyayangkan mereka melemparmu hingga kau pecah berserakan. Jika bisa.. mungkin kau akan menangis mengiba, menerima perlakuan mereka para manusia.
Sesungguhnya masih banyak yang membutuhkan setoples kue nastar untuk Lebaran. Seorang teman yang baru saja diputus mitra dari ojek online bilang, jangankan kue nastar untuk Lebaran, baju baru untuk anaknya pun tak terbeli.
Jika ada kue nastar untuk anak tercinta, sungguh itu akan membahagiakan dirinya. Terlebih karena si anak begitu suka pada kue nastar. Si teman, ayah yang baik, merasa dirinya menjadi ayah yang tak berguna.