Ini cerita perjalanan Minggu kemarin ketika saya balik dari Jogja menuju Jakarta. Awalnya saya nyaris batal pergi ke Jogja karena banyak hal yang harus saya urus di Jakarta (salah satunya Rossi hehehe). Namun ayah saya yang tinggal di Jogja sana tetap minta saya dan suami datang ke Jogja dalam rangka memenuhi undangan pernikahan salah seorang sepupu saya. Saya berangkat ke Jogja Sabtu lalu dari stasiun Senen. Naik kereta api ekonomi jurusan Jogja, Progo namanya. Tiketnya 35 ribu rupiah saja per orangnya. Murah banget ya. Kereta tak penuh hari itu. Mungkin karena orang-orang sudah berangkat sejak tanggal merah lalu.
Ndilalahnya kereta tiba terlambat sampai Jogja. Mestinya kereta sampai di stasiun Lempuyangan sekitar jam 8 pagi. Eh ini baru sampai di lempuyangan tepat jam 11 siang. Kereta Taksaka yang jadi penyebabnya. Sabtu malam itu Taksaka anjlok di Banyumas. Otomatis semua kereta terlambat datangnya. Termasuk kereta saya. Saya sempat was-was kalau saya baru tiba di Jogja siang hari. Pasti saya akan sangat terburu-buru datang ke undangan pernikahan sepupu saya. Pasalnya saya harus balik ke Jakarta hari itu juga. Saya tak bisa cuti Senen ini hikzzz..
Tiba di stasiun Lempuyangan saya langsung menuju loket untuk membeli tiket balik ke Jakarta. Kereta Progo lagi-lagi jadi pilihan karena Progo sampai di Jakarta jam 3 pagi, kami bisa langsung ngantor hari itu. Capek? Resiko jadi karyawan hehehehe. Tak seperti di Jakarta yang tiketnya bernomor tempat duduk, ternyata tiket Progo di Jogja dijual tanpa tempat duduk, alias berdiri semua. Tapi jangan khawatir, tiket tanpa nomer tempat duduk hanya dijual tanggal 1 sampai 5 Juni dalam rangka libur, hari lain normal kok. Kalau mau tempat duduk ya cari sendiri di kereta dengan catatan saya harus datang ke stasiun se-awal mungkin. Kereta Progo sendiri berangkat dari Lempuyangan, Jogja jam 16.45 sore. Karena waktu makin mepet saya langsung pulang ke rumah di mana ayah dan saudara saya lainnya telah menunggu. Dengan pemikiran nanti setelah selesai salam-salaman dan makan saya langung balik ke stasiun memburu tempat duduk.
Jam 14.00 siang saya akhirnya balik ke stasiun untuk pulang ke Jakarta. Mbah putri dan saudara saya yang lainnya tentu tak rela hati melepas saya secepat itu. Tapi mau bagaimana lagi, memang waktunya tak memungkinkan buat saya untuk berlama-lama di Jogja. Lebaran nanti bolehlah saya dan keluarga memuaskan hati menikmati Jogja. Setengah jam kemudian saya dan suami sampai di stasiun dan langsung ditemui para calo tiket kereta api yang menawari kami tiket. Tiket di loket sudah habis katanya. Walah.. padahal baru beberapa jam saya tinggal pergi, pasti banyak sekali penumpang Progo kali ini.
Dengan percaya diri saya dan suami menyusuri gerbong demi gerbong kereta Progo untuk mencari tempat duduk. Tempat duduk memang banyak yang kosong, tapi ternyata sudah ditandai yang artinya tempat duduk itu sudah ada yang memiliki. Tandanya macam-macam, ada yang pakai koran, bantal dan lain-lain. Tentu kami nggak berani duduk di situ. Meski kami aneh juga, masa sebanyak ini tempat duduknya kok penumpangnya tidak ada.
Hasilnya bisa ditebak. Dari 6 rangkaian gerbong yang ada di situ, tak satupun tempat duduk kosong tersisa. Saya dan suami langsung ke gerbong restorasi (gerbong makan). Gerbong ini menjadi alternatif bagi para penumpang yang tak mendapat tempat duduk. Gerbong makan masih agak kosong, sama seperti gerbong yang lain, yang kosong tapi tempat duduknya telah ditandai. Ada beberapa penumpang yang sudah duduk di situ dan para pelayan restoran. Seorang pelayan bilang pada saya untuk menunggu gerbong lagi yang akan datang dari Klaten. Ada 4 gerbong yang sedang menjemput penumpang di Klaten dan akan ditambahkan di rangkaian gerbong ini. Namun dia tidak bisa menjamin ketersediaan tempat duduk mengingat hari ini adalah hari terakhir libur panjang.
Suami saya memutuskan untuk tetap duduk di gerbong makan. Dengan memberikan "kode" pada pelayannya, yang nampaknya keberatan dengan keberadaan kami di gerbong itu, melalui percakapan berikut (aslinya dalam bahasa jawa) :
"Mas, saya pesan nasi goreng dan teh manis 2 ya, tapi makannya nanti aja kalau keretanya sudah berangkat"
"Boleh mas, semuanya jadi 30 ribu rupiah"
"Ini duitnya saya kasih dulu ya, kembalinya ambil aja"
Selembar 50 ribuan pun berpindah tangan. Sudah, sesederhana itu "kode" nya, dan kami dapat duduk di kursi dekat pantry.
Karena kereta api masih lama berangkatnya, saya memilih untuk jalan-jalan melihat kondisi gerbong. Siapa tahu ada hal menarik yang bisa saya tulis. Sejak saya keranjingan menulis di Kompasiana, memang tanpa sadar saya selalu berpikir apa ya yang bisa saya tulis di blog keroyokan ini, "Kompasiana addict" kah saya? Akhirnya perhatian saya terpaku pada sekelompok bapak-bapak yang nampaknya sedang beradu pendapat dengan polisi khusus kereta api. Polisi seperti ini memang ditugasi untuk mengawal perjalanan untuk mencegah hal-hal buruk yang mungkin terjadi.
Dari hasil nguping, saya mengambil kesimpulan. Sekelompok orang ini adalah para penumpang Progo yang tak mendapat tempat duduk. Mereka protes kepada polisi ini tentang keberadaan calo di kereta api. Ternyata kursi-kursi yang ditandai tadi sudah dimiliki para calo. Penumpang kereta api bisa duduk di situ dengan membayar pada calo sesuai harga yang diminta calo itu. Besarnya bervariasi, antara 50 ribu hingga 80 ribu rupiah. Harga ini mungkin tergantung tawar menawar antara calo dan pemegang tiket.
Otomatis para penumpang marah dengan hal ini. Mereka sudah sengaja datang awal demi mendapat tempat duduk. Ada yang datang sejak jam 1 siang bahkan. Mereka protes pada pak polisi untuk menindak para calo. Namun bisa ditebak sikap para polisi ini, mereka bilang akan lapor ke pihak stasiun. Lalu beneran lapor? Jangan harap. Kita tahu sama tahu saja soal ini. Sikap para calo yang berani menghadapi para penumpang sudah cukup membuat kita menyadari bahwa posisi para calo ini demikian kuat.
Tambahan lagi banyak penumpang yang akhirnya membeli tempat duduk dari para calo ini. Jangan menyalahkan penumpang seperti ini ya. Misal ia berangkat sekeluarga dengan anak kecil segala, tegakah orang tuanya membiarkan si kecil tidur di lantai gerbong? Semahal apapun kursi pasti dibeli, meski hati ngedumel sudah pasti. Duit bisa dicari, kenyamanan si buah hatilah yang utama kini. Atas nama kenyamanan itu pula saya memberi uang lebih ke pelayan restoran tadi, anggap saja memberi ia ongkos pulang. Jadi pelayan tadi calo juga bukan?
Saya pesimis bahwa calo tiket kereta api atau calo transportasi lainnya akan dapat di basmi. Seperti rantai makanan dalam ilmu biologi, rantai antara calo, pembeli tiket dan penjual tiket itu tak bisa di putus. Anda bisa menyebut bahwa saya terlalu berpikiran negatif mengenai hal ini. Okelah kalau Anda bilang ada sarana tranportasi yang terbebas dari calo dan membuat penumpangnya nyaman, tapi berapa persennya dari keseluruhan transportasi yang kita punya?
Maka sepanjang perjalanan saya membiasakan diri mendengar perbincangan sesama penumpang tentang harga tiket yang mereka beli. Ada yang beli seharga 50 ribu, 40 ribu bahkan 60 ribu rupiah. Tanpa tempat duduk lho. Saya bersyukur membeli tiket dengan harga normal di loket resmi, 35 ribu rupiah saja. Hmm... banyak yang memperoleh pendapatan bagus hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H