[caption id="attachment_210328" align="alignleft" width="300" caption="pinjem foto dari hanamemories.blogspot.com"][/caption] Entah mengapa saya kangen sekali untuk makan bubur dengan sayur tempe semangit yang ada di kampung saya di Jogja. Tempe semangit adalah jenis tempe yang proses fermentasinya lebih lama dari tempe biasa, tapi tempenya belum busuk sehingga tempe ini mempunyai rasa dan aroma yang khas. Biasanya tempe jenis ini dimasak dengan kuah santan. Bubur seperti itu sayangnya tak pernah saya temui di sini, di Jakarta. Dulu saya menemukan bubur seperti ini secara tak sengaja. Ketika sedang berlibur di kampung saya di Bantul, Jogja dan sedang menyusuri pinggiran sawah di pagi buta, saya melihat kerumunan orang ini. Penasaran saya hampiri untuk melihat apa yang menarik hingga orang berkerumun begini. Ternyata orang-orang ini mengantri untuk membeli makanan yang terhampar di sebuah meja. Di atas meja kecil dengan atap sederhana, terhampar macam-macam makanan seperti tempe dan tahu bacem, aneka gorengan, sate usus, ayam dan telur dengan kuahnya yang berwarna kuning, serta beberapa macam makanan lain. Menunya mengingatkan saya pada makanan yang tersedia di angkringan. Ada panci besar berisikan nasi putih dan kuning serta sebuah panci besar yang berisikan bubur. Si ibu penjualnya sibuk melayani para pembeli yang antri. Usia ibu itu sekitar 40 tahunan, sibuk sekali membungkusi pesanan. Saya tertarik untuk membeli juga, nampaknya enak untuk sarapan tapi saya harus sabar untuk mengantri. Karena saya tak sedang dikejar waktu dan memang sedang berniat jalan-jalan ya saya tunggu saja giliran saya. Hingga kemudian tibalah saat saya dilayani juga. Karena untuk sarapan saya tak biasa makan nasi, maka saya beli bubur saja. Lima bungkus sekalian untuk orangtua dan saudara di rumah. Bubur di bungkus dengan daun pisang, dan menjadikan lidi sebagai pengaitnya. Tak banyak porsinya tapi cukup untuk sarapan. Sebelum dibungkus diberinya sayur tempe semangit dan mie goreng sebagai pelengkap. Lima bungkus bubur serta beberapa tempe dan tahu bacem siap saya bawa pulang untuk sarapan. Harga buburnya sebungkus 1.000 rupiah. Penasaran saya dengan rasa bubur seharga itu. Tiba di rumah dengan tak sabar bubur saya santap. Sembari mengobrol dengan mbah saya yang juga makan bubur seperti saya. Suapan pertama terasa gurih campur pedas di lidah. Gurihnya berasal dari bubur yang ternyata dimasak bersama campuran santan. Sementara pedas bercampur sedikit manis berasal dari sayur santan plus tempe semangit. Buburnya tidak encer tidak juga terlalu kental, pas saja takarannya. Dan buburnya panas sehingga enak sekali dimakan di pagi yang dingin seperti ini. Bibi saya di Jogja sering membuat sayur tempe semangit seperti ini, tapi rasanya tak sama. Ibu sayapun dulu ketika masih sehat dan masih akrab berteman dengan peralatan masak suka membuat sayur seperti ini, namun rasanya juga tak sama. Beda orang beda racikan ternyata. Kalau rasa mie gorengnya standar saja. Sementara tempe dan tahu bacemnya enak juga. Mbah saya yang sudah 90 tahun usianya ini bercerita. Si ibu penjual bubur adalah generasi ketiga dari keluarganya yang berjualan bubur yang sama. Jadi resep bubur ini sudah turun temurun. Tempat jualannya juga di tempat yang sekarang. Agak bingung juga saya jualan bubur saja kok bisa bertahan sampai 3 generasi. Tapi begitu sudah mencoba rasa buburnya, saya maklum jadinya. Kalau sekarang harganya seribu dulu harganya berapa ya ? Sebuah konsistensi yang luar biasa. Besoknya ketika datang untuk membeli bubur lagi, saya sempatkan berbincang dengan si ibu penjual bubur. Mau tanya resepnya untuk saya coba di rumah. Dia bilang cara masaknya gampang sembari menyebut bahan-bahannya. Dan dia bilang senang memberitahukan pada saya mengenai resepnya yang katanya tidak rahasia. Coba di Jakarta ya, siapa tahu orang-orang di sana pada suka, begitu pesannya. Namun sayang, 3 kali saya mencoba membuatnya di rumah, 3 kali gagal juga. Bukan gagal karena nasinya tidak jadi bubur. Tapi gagal karena tidak bisa menyamai rasanya. Mungkin juga karena beda orang jadi beda juga rasanya. Entahlah. Libur Lebaran yang rencananya ingin saya gunakan untuk makan bubur semangit lagi di kampung saya sepertinya gagal dulu sementara karena saya baru beroleh kabar gembira bahwa Lebaran tahun ini kantor saya cuma libur di tanggal merah saja... hikkksssss.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H