Saat ini, dunia perfilman Indonesia sedang dihebohkan dengan munculnya film dokumenter berjudul "Ice Cold" di Netflix. Film ini mendokumentasikan kasus pembunuhan Mirna Salihin yang menggunakan sianida yang dicelupkan pada kopi oleh Jessica Wongso. Keberhasilan film ini menimbulkan banyak apresiasi, pendapat, sudut pandang baru, dan juga kritik tentang penegakan hukum di Indonesia. Penahanan Jessica terkesan terburu-buru dan diduga kurangnya bukti yang cukup. Namun, di balik sorotan film ini, ada tantangan serius yang dihadapi industri perfilman Indonesia yang perlu kita cermati.
Untuk pertumbuhan industri perfilman di Indonesia saat ini memang masih sulit, terdapat setidak-tidaknya 5 tantangan yang perlu diatasi:
1. Terbatasnya Akses Pendanaan
Industri perfilman membutuhkan dana besar untuk produksi film berkualitas. Namun, akses pendanaan terbatas membuat banyak produser kesulitan dalam mengumpulkan dana yang cukup.
2. Kurang Maksimalnya Distribusi Film
Distribusi film, baik di bioskop maupun platform non-bioskop, masih terbatas pada kerja individu dan komunitas perfilman. Hal ini mengakibatkan akses masyarakat terhadap perfilman belum tergarap maksimal.
3. Kurangnya Sarana Penayangan
Kurangnya bioskop yang memadai menghambat keragaman film yang diproduksi di Indonesia. Film-film independen sering kesulitan untuk mencapai audiens yang lebih luas.
4. Kurangnya Pendidikan Perfilman
Kurangnya lembaga pendidikan formal dan non-formal di bidang perfilman menghambat perkembangan talenta dan pekerja industri film.
5. Kurangnya Pengamanan IP (Intellectual Property)
Kurangnya perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual (IP) memudahkan film untuk dibajak dan dimanfaatkan secara ilegal.
Berkaitan dengan itu, isu terkait financing atau pembiayaan adalah salah satu hal paling krusial yang perlu ditemukan solusinya. Isu ini juga pernah menjadi hot topic di dunia maya, yakni di media sosial. Saat itu, salah satu sutradara ternama di Indonesia, Joko Anwar, membeberkan budget atau dana yang dibutuhkan pada pembuatan suatu film. Hal ini mencakup siapa yang memberikan pembiayaan, skema pembiayaannya, bagaimana profit dibagi dengan bioskop, distribusi melalui platform streaming (OTT), dan lain sebagainya.
Isu ini perlu segera dipecahkan mengingat industri film Indonesia yang diproyeksikan akan terus tumbuh. Pada tahun 2022, terdapat total 126 film yang diproduksi oleh berbagai production house dan didistribusikan melalui bioskop dengan jumlah penonton film yang beragam. Terdapat 18 film box office pada tahun tersebut dengan tiga film terlaris mencapai jutaan penonton, seperti "KKN di Desa Penari" dengan 10 juta penonton, "Pengabdi Setan 2" dengan 6.3 juta penonton, dan "Miracle in Cell no. 7" dengan 5.8 juta penonton.
Namun, untuk mencapai status box office, film-film ini membutuhkan biaya produksi yang signifikan. "KKN di Desa Penari" menghabiskan Rp 15 miliar, sementara "Pengabdi Setan 2" membutuhkan Rp 10 miliar.
Selain itu, terdapat 108 film non-box office pada tahun 2022 yang didominasi oleh genre drama komedi dan horor. Film-film ini memerlukan biaya produksi sebesar Rp 3 miliar hingga Rp 5 miliar, tergantung pada skala dan jenis filmnya.