Mohon tunggu...
Yayasan Maharyapati
Yayasan Maharyapati Mohon Tunggu... -

Yayasan Maharya Pati bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan melalui berbagai program pengembangan sumber daya manusia, pengembangan teknologi tepat guna serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan (life-skill) berdasarkan budaya dan kearifan lokal, untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Pembentukan Yayasan Maharya Pati berangkat dari keprihatinan sekelompok anak bangsa akan situasi dan kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya dan tatanan kehidupan masyarakat Indonesia menjelang 69 tahun merdeka. Program Pembangunan Desa dan Masyarakat Pancasila yang dicanangkan Maharya Pati merupakan suatu upaya mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat Indonesia sesuai tujuan kemerdekaan dan falsafah dasar pembentukan Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, melalui pelaksanaan 5 (Lima) Program Prioritas secara simultan, terintegrasi dan terkoordinasi, mencakup Bidang Kesehatan; Pendidikan dan Teknologi; Ekonomi; Sumber Daya Alam dan Lingkungan; serta Sumber Daya Manusia, Sosial dan Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Daulat Uang dan Pemutihan Utang Negara

15 Desember 2014   16:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:17 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MEWUJUDKAN KEDAULATAN UANG DAN PEMUTIHAN UTANG NEGARA

Menuju Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Ekonomi dalam Perspektif Kedaulatan Negara dan Ketertiban Dunia sesuai Amanat Pembukaan UUD 1945

Dasar Negara menurut Bung Karno: “Dasar Negara, yakni dasar untuk di atasnya didirikan Indonesia Merdeka, haruslah kokoh dan kuat sehingga tak mudah digoyahkan. Bahwa Dasar Negara itu hendaknya jiwa, pikiran-pikiran yang sedalam-dalamnya, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Dasar Negara Indonesia hendaknya mencerminkan kepribadian Indonesia dengan sifat-sifat yang mutlak ke-Indonesia-annya dan sekalian itu dapat pula mempersatukan seluruh bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, aliran dan golongan penduduk”.

Sebagai Dasar Negara, Pancasila bukanlah sekedar slogan yang hanya untuk disuarakan dan dihafalkan namun lebih tepatnya sebagai ideologi nasional yang merupakan cara pandang dan sikap hidup Bangsa Indonesia untuk mencapai tujuannya, yaitu terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat Indonesia sejahtera yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sebagai fondasi bangsa, Pancasila harus menjadi jiwa, budaya dan karakter bangsa yang semakin mengakar dan kuat menahan gelombang peradaban global yang kian menerjang, bukan hanya sekedar pilar estetis agar nampak indah terlihat dari setiap arah.

Apakah kondisi politik, perekonomian, sosial, budaya serta kesejahteraan bangsa dan rakyat pada saat ini sudah sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan para pendiri bangsa dan negara Indonesia? Tak bisa dipungkiri bahwa meskipun upaya untuk mewujudkan cita-cita para “founding father” dan segenap Bangsa Indonesia tersebut telah dilakukan oleh setiap rejim pemerintahan: dimulai sejak dari era pemerintahan pertama Negara Republik Indonesia (Rejim Orde Lama) yang dilandasi semangat Kemerdekaan, prinsip Berdikari, Anti-Kolonialisme dan Anti-Imperialisme; dan dilanjutkan oleh Rejim Orde Baru dengan Program Swasembada Pangan dan Pembangunan Manusia Seutuhnya; serta terakhir di Era Transisi dan Rejim Reformasi, dari mulai pemerintahan Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Stabilisasi dan Demokratisasi, Pengembangan Pangan dan Energi Alternatif serta Pemerataan Ekonomi dan Program Pro Rakyat; namun tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih terbatas dan berbagai permasalahan yang kerap dijumpai di berbagai bidang kehidupan secara jelas memberikan gambaran masih belum tercapainya kondisi yang diharapkan tersebut.

Tentunya menjadi pertanyaan kita bersama, mengapa cita-cita para “founding father” dan harapan segenap bangsa ini belum juga dapat terwujud meskipun kita telah 69 tahun merdeka? Apakah ada yang salah dengan cita-cita dan harapan bangsa kita? Atau justru kitalah yang salah memaknai falsafah dasar negara dan perangkat yang telah diletakkan oleh para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga kita belum sepenuhnya mampu mengaktualisasikan perwujudan karakter masyarakat Pancasila yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur?

Sebagai bangsa yang dikaruniai tanah air yang subur dengan kekayaan alam yang melimpah, membentang luas di daerah khatulistiwa dari Sabang hingga ke Merauke, sudah selayaknya bangsa Indonesia memiliki kedaulatan negara yang dilandasi oleh kedaulatan pangan, kemandirian ekonomi, kedaulatan wilayah dan kedaulatan budaya. Namun, meskipun telah 69 tahun lebih merdeka, kita ternyata belum mandiri secara ekonomi dan belum mampu mewujudkan kedaulatan pangan secara utuh. Sungguh ironis, di negeri dengan karunia kekayaan alam yang melimpah ini ternyata masih terdapat sebagian rakyatnya yang hidup dalam kemiskinan, kekurangan pangan, dan jauh dari kehidupan layak.

Harus diakui bahwa kedaulatan pangan, yang dilandasi oleh kemandirian dan ketahanan pangan, akan sulit dapat terwujud tanpa adanya kedaulatan wilayah dan kemandirian ekonomi. Dalam kondisi kepemilikan lahan dan tingkat produktivitas sebagian besar masyarakat petani masih sangat terbatas, maka kehadiran negara dengan kebijakan keberpihakannya terhadap petani dan masyarakat kecil dalam upaya mencapai kedaulatan pangan menjadi sangat krusial, sesuai dengan tujuan negara untuk mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan sosial. Termasuk dalam hal ini keberpihakan negara dalam kebijakan penataan ruang dan prioritas alokasi lahan serta pengaturan dan pengendalian pemanfaatan sumber daya alam untuk keberlangsungan kedaulatan pangan, kemandirian ekonomi, kedaulatan wilayah dan budaya, yang bersama-sama dengan kedaulatan politik merupakan lima pilar utama kedaulatan negara. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi dalam khotbah Idul Adha tanggal 5 Oktober 2014 di Masjid UI Depok, keadilan sosial tidak dapat ditegakkan tanpa intervensi negara. Negara tidak boleh membiarkan rakyat bertarung sendiri untuk mencapai tingkat kesejahteraan. Dan hal ini tentunya sulit dapat terwujud tanpa adanya kemandirian ekonomi, terlebih bagi suatu negara yang terjerat dalam lingkaran utang luar negeri yang nyaris tidak berkeputusan.

Dalam Pidato Pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 2015 tanggal 15 Agustus 2014, Presiden (SBY pada saat itu) menyatakan dua hal penting, yaitu: 1) bahwa pendapatan negara selama 10 (sepuluh) tahun kepemimpinannya telah meningkat dari Rp. 400 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 1.762 triliun pada tahun 2014, atau meningkat lebih dari 4 (empat) kali lipat; dan 2) bahwa pertumbuhan kelas menengah Indonesia meningkat sangat pesat.

Meningkatnya kemampuan pendanaan APBN dan tingginya pertumbuhan kelas menengah ini tentunya perlu diapresiasi dan disikapi secara arif, karena bersamaan dengan meningkatnya kemampuan APBN, jumlah utang luar negeri Indonesia juga terus semakin membengkak. Sementara di sisi lain, pertumbuhan kelas menengah yang terjadi belum diiringi dengan penurunan masyarakat miskin secara signifikan, sehingga tidak bisa menutupi fakta bahwa kesenjangan sosial cenderung semakin melebar dalam beberapa tahun terakhir. Potret kesejahteraan sebagian rakyat juga masih sangat memprihatinkan akibat kegagalan pengelolaan ketersediaan puluhan komoditas kebutuhan pokok (sumber jpnn.com 16 Agustus 2014).

Bila dibandingkan dengan jumlah utang Pemerintah pada tahun 2005 (total senilai Rp. 1.313,5 triliun), selama kurun waktu 9 tahun terakhir utang Pemerintah meningkat hampir dua kali lipat. Menurut data DJPU sejak tahun 2009 sampai dengan 2014, utang Pusat bertambah rata-rata sekitar 9,7 % setiap tahunnya. Sedangkan menurut data BI untuk periode yang sama, utang luar negeri Indonesia bertambah dengan rata-rata sekitar 17,5 % setiap tahunnya. Berdasarkan data pokok APBN untuk periode waktu tersebut, pendapatan negara bertumbuh rata-rata 14,5 % per tahun, tetapi di sisi lain, belanja negara untuk pembayaran “kewajiban utang” terus bertambah dan meningkat rata-rata sekitar 6 % per tahunnya.

Menurut Berita Liputan6.com pada hari Minggu, 21 September 2014 Bank Indonesia mencatat posisi utang luar negeri Indonesia per Juli 2014 mencapai USD 290,6 miliar ($1 = Rp. 11.597) atau sekitar Rp. 3.360 triliun. Berdasarkan data Bank Indonesia, posisi utang luar negeri Indonesia tersebut terdiri dari utang sektor publik sebesar USD 134,2 miliar dan utang pihak Swasta senilai USD 156,4 miliar. Jumlah tersebut, jika dibagi rata dengan proyeksi jumlah penduduk Indonesia tahun 2014 sebanyak 252.164.600 jiwa, maka setiap orang Indonesia pada akhir Juli 2014 memiliki tanggungan utang sebesar Rp. 13,3 juta.

Sehingga perlu menjadi pertanyaan kita bersama, sampai kapan kita mampu melunasi utang dan mencapai kemandirian ekonomi dengan selisih antara tingkat pertumbuhan pendapatan dan pertumbuhan utang yang relatif kecil?

Hal lain yang perlu juga dipertanyakan, apakah peningkatan utang ini sepadan dengan peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia? Atau apakah pertumbuhan ekonomi yang terjadi sudah dirasakan secara merata manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya dirasakan oleh sebagian kecil atau bahkan kelompok masyarakat tertentu saja?

Dari figur APBN sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2014, rata-rata 68 % digunakan untuk Belanja Pusat dan 32 % ditransfer ke Daerah. Dari total jumlah alokasi Pusat, hanya sekitar 30 % dialokasikan untuk belanja barang dan belanja modal. Selebihnya digunakan untuk Belanja Pegawai sekitar 21 %, Bayar Kewajiban Utang 12 %, Subsidi Energi dan Non-Energi 25,5 %, Bantuan Sosial 8,5 %, Hibah dan Lain-lain 3 %. Sehingga sangat wajar bila timbul pertanyaan bagaimana kita bisa meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan bangsa dengan porsi alokasi pembangunan yang hanya sekitar 30 % dari belanja negara, sementara jumlah utang luar negeri kita terus meningkat setiap tahunnya. Siapapun yang akan menjadi pimpinan, pemerintah akan tetap terbelenggu dengan utang yang terus kian membengkak. Kondisi yang sama juga cenderung terjadi dengan sektor swasta nasional dengan ketergantungan yang semakin besar terhadap utang luar negeri. Bahkan pemerintah saat ini cenderung lebih mengarahkan pembangunan infrastruktur penunjang sektor-sektor strategis melalui investasi swasta. Sehingga secara perlahan, baik langsung maupun tidak, negara ini akan semakin dikuasai oleh para pemilik modal dari luar. Kalau sudah demikian, bagaimana mungkin kita bisa mewujudkan kelima prinsip kedaulatan yang menjadi fondasi kedaulatan negara?

Adakah solusi untuk dapat mewujudkan kelima pilar kedaulatan negara dan karakter masyarakat Pancasila tanpa mengabaikan utang yang sudah terlanjur menumpuk? Meskipun hal tersebut bukan sesuatu yang tidak mungkin, tetapi tentu akan memerlukan waktu yang sangat lama. Sehingga isu pemutihan utang dalam konteks ini menjadi sangat relevan dan perlu diupayakan dengan segala kemampuan yang ada demi tercapainya kelima prinsip kedaulatan yang diharapkan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk itulah, dalam rangkaian momentum memperingati Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei, Hari Kelahiran Pancasila tanggal 1 Juni, Hari Kelahiran Bapak Proklamator, “Bung Karno” tanggal 6 Juni, Hari Ulang Tahun TNI tanggal 5 Oktober, Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober, dan Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember, sebagai wujud pengabdian bagi negara dan bangsa Indonesia yang tercinta, Yayasan Maharya Pati menggagas penyelenggaraan “DIALOG MEWUJUDKAN KEDAULATAN UANG DAN PEMUTIHAN UTANG NEGARA – Menuju Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Ekonomi Dalam Perspektif Kedaulatan Negara dan Ketertiban Dunia Sesuai Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”, yang merupakan kelanjutan dari rangkaian kegiatan: 1) Diskusi Publik Pemulihan Nama Baik Bung Karno, Urgensi dan Peluangnya; 2) Dialog Mewujudkan Kemakmuran, menuju Kedaulatan Pangan dan Kemandirian; dan 3) Forum Silaturahmi Mewujudkan Tata Ruang Peradaban, menuju Kedaulatan Pangan dan Kedaulatan Negara; guna menggugah dan mengajak setiap elemen bangsa untuk secara bersama-sama memaknai falsafah dasar negara, mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaan serta menjaga keutuhan dan kedaulatan negara sesuai amanat Pembukaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun