Ah, entah mengapa semakin hari tragedi bencana kabut asap malah semakin meningkat intensitasnya. Padahal tak sedikit rupiah yang sudah digelontorkan pemerintah untuk menanggulangi kebakaran hutan penyebab kabut asap. Namun memang kendala yang ditemui bermacam jumlahnya, selain karena banyaknya titik api yang tersebar di banyak lokasi, ada pula kendala pemadaman kebakaran hutan karena terbatasnya alat-alat untuk operasi pemadaman. Jika kedua alasan di atas adalah alasan teknis yang berkaitan dengan alat dan teknik memadamkan kebakaran hutan, nah alasan lainnya yang menyebabkan kebakaran hutan masih terus terjadi tiap tahun setidaknya berasal dari budaya dan kebiasaan masyarakat lokal itu sendiri.
Tak percaya? Silahkan tengok penjelasan ini:
Selama beberapa pekan terakhir, Kabupaten Ogan Komering Ilir dipercaya sebagai penyumbang kabut asap yang cukup masif di Pulau Sumatera. Ratusan titik pembakaran hutan tersebar di banyak lokasi di wilayah Kabupaten ini. Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana sampai menjadikan Kabupaten Ogan Komering Ilir sebagai prioritas utama usaha pemadaman pembakaran hutan dengan menggunakan bahan-bahan kimia.
Pasalnya, kabut asap dari kabupaten Ogan Komering Ilir inilah yang menjadi salah satu biang kerok dari salah satu penderitaan warga terdampak kabut asap di Kota Pekanbaru, Jambi, Palembang, hingga Sumatera Barat. Lantas apa sesungguhnya yang menyebabkan angka kebakaran hutan di wilayah ini berada dalam jumlah yang mengkhawatirkan? Ternyata salah satu penyebab utamanya adalah karena budaya masyarakatnya itu sendiri. Kok bisa?
Selama ini masyarakat di Kabupaten Ogan Komering Ilir memiliki budaya yang sudah menjadi kearifan lokal yang mengakar, dikenal sebagai budaya Sonor. Namun ironisnya, budaya ini sayang sekali tak termasuk sebagai kearifan lokal yang patut dibanggakan lantaran budaya ini dianggap negatif oleh masyarakat di luar Kabupaten Ogan Komering Ilir. Budaya Sonor menjadi salah satu pemicu dari pekatnya kabut asap yang membubung di langit Pulau Sumatera.
Seperti yang dikutip dari lansiran CNN, menurut penuturan Kepala Regu Manggala Agni Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSAD) Sumatra Selatan, Deni Chandra, budaya Sonor ini berlangsung setiap tahunnya, dan parahnya lagi selalu mengulang kejadian kebakaran lahan serupa. Pasalnya budaya ini adalah cara yang dianggap masyarakat setempat sebagai usaha paling praktis dan ekonomis untuk menanam padi.
Bagaimana prosesi budaya Sonor sehingga dianggap sebagai penyumbang bencana asap di Sumatera?
Ketika musim kemarau tiba di tiap pertengahan tahun, lahan warga banyak yang ditumbuhi semak dan ilalang liar. Nah untuk membuka lahan ini, budaya Sonor menawarkan cara turun temurun dengan membakar rerumputan itu, hingga akhirnya lahan sawah bisa ditaburi benih padi.
Ironisnya, budaya Sonor ini sudah sangat mengakar dalam kegiatan pertanian masyarakat Ogan Komering Ilir. Setahun sekali warga sulit diajak untuk meninggalkan kebiasaan buruk ini.
Berdasarkan data terakhir dari BNPB, Ogan Komering Ilir adalah Kabupaten penyumbang terbesar titik api di Sumatera. Terakhir ada 400 lebih titik api yang masih membara di Ogan Komering Ilir. 90 persen dari lahan di kabupaten ini adalah lahan gambut milik warga.
(cal) img : Â riaugreen