Gambar via aljazeera
Konflik Suriah telah menjadi alasan terbesar terjadinya arus migrasi pengungsi besar-besaran yang berasal dari negeri Suriah, masuk dan mendesak suaka serta kehidupan yang lebih layak di tanah Eropa. Jumlah mereka yang bermigrasi ke Eropa mencapai jutaan jiwa. Jumlah pengungsi yang tak lagi aneh jika melihat dan membayangkan betapa rumitnya kini medan pertempuran yang tersaji di tanah Suriah. Semua perwakilan blok barat dan blok timur kembali beradu kekuatan temput di tanah Suriah.
Segelintir pihak menganggap remeh Perang Suriah hanyalah bagaikan perang kecil yang tak perlu dipikirkan, apalagi tak berdampak apapun bagi Indonesia. Sebuah pandangan yang tak layak untuk ditiru.
Namun sebagian lainnya menganggap bahwa Perang Suriah saat ini akan menjadi embrio dari perang saudara dan antar negara berkepanjangan dan membawa korban jutaan jiwa.
Bahkan bukan tak mungkin, bahwa Perang Suriah akan berkembang menjadi perang yang lebih besar dari perang antara Uni Soviet dan Afghanistan beberapa dekade silam. Kala itu, perang besar meletus di tanah Afghanistan antara Uni Soviet dan mujahidin Afghanistan. Perang berlangsung selama 9 tahun antara tahun 1979 hingga tahun 1989.
Kondisi pemicu meletusnya perang pun sangat mirip dengan apa yang terjadi di Suriah saat ini. Kala itu pemerintah Afghanistan pasca tahun 1978 punya banyak agenda dan perjanjian persahabatan dengan negeri Uni Soviet, induk dari negara Rusia.
Dalam posisi yang terdesak, pemerintahan baru Afghanistan meminta militer Uni Soviet untuk membantu menggempur sejumlah kelompok pemberontak garis keras Mujahidin yang punya niatan menggulingkan pemerintah Afghan. Akhirnya Uni Soviet melakukan intervensi militer dalam medan pertempuran Afghan, ribuan tentaranya bahkan menduduki Afghanistan dari tahun 1979 hingga 1980, seperti yang dicatat oleh laman CNN.
Sementara itu, Amerika Serika menilai bahwa posisi Uni Soviet di Afghanistan hanya akan menjadi perpanjangan dari kondisi perang dingin. Akhirnya Amerika punya agenda untuk mengusir tentara Soviet dari Afghan, caranya? Amerika dengan cerdik memberikan berbagai dukungan termasuk persenjataan kepada pasukan anti-soviet, salah satunya adalah Mujahidin.
Hingga akhirnya, Perang Uni Soviet dan Afghanistan yang berkobar selama 9 tahun diperkirakan membawa korban tewas sejumlah lebih dari 1 juta orang. Dikutip dari CNN, jumlah itu terdiri dari ratusan ribu pemberontak Mujahidin, 18 ribu tentara Afghanistan dan 14.500 tentara Uni Soviet, dan sisanya adalah warga sipil.
Nah kondisi itulah yang kini terbayang jelas dalam suasana Konflik Suriah. pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana melalui lansiran CNN mengatakan bahwa kini masalah utama ada di antara ISIS dan tentara Bashar al Assad. Rusia dan Amerika Serikat yang sudah mengirimkan militernya di tanah Suriah punya ketertarikan yang sama (common interest) terhadap pemberantasan ISIS. Namun Rusia dan Amerika memiliki pandangan beda terhadap Assad.
Bahkan ketegangan ini makin memanas ketika militer Rusia melakukan serangan udara dan rudal jelajah yang meleset dan melanggar kedaulatan Turki. Rusia dianggap terlalu gegabah dan tak punya koordinasi strategi yang baik dengan militer Amerika. Padahal target mereka serupa, yaitu menumpas ISIS.