ACTNews, LOMBOK UTARA - Es krim, adakah yang tak suka? Panganan beku, dingin, manis, dan berwarna menarik dengan rasa khas susu olahan satu ini idola semua kalangan. Rasanya, tak ada yang tak suka, hampir semua orang enggan untuk menolak ketika disajikan es krim. Vanila, cokelat, strawberry, karamel, dan rasa-rasa lainnya punya cita rasa khasnya masing-masing. Konon, tiap rasa es krim yang disukai pun punya hubungan erat dengan kepribadian para penggemarnya.
Nikmat tekstur beku es krim yang meleleh ketika lidah mengecapnya pun memiliki sensasi nikmatnya tersendiri. Itulah kenapa, es krim tak dapat tergantikan dengan cemilan seperti biskuit, roti, atau permen. Es krim menjadi candu, bagi siapapun tak pandang usia. Apalagi kalau matahari sedang terik-teriknya menyapa, apalagi kalau hati sedang gundah. Es krim jadi pilihan utama untuk mengenyahkan rasa tak enak.
Tidak terkecuali bagi bocah-bocah pengungsi yang tinggal di tenda pengungsian Desa Pemenang Timur, sisi Pulau Lombok sebelah Utara. Anak-anak lugu nan polos itu menyatu menjadi bagian dari duka pascabencana gempabumi memporak-porandakan kampung, rumah, sekolah bahkan masjid mereka.
Kini, bagi anak-anak pengungsi itu, siang hari yang terik hanya ada sengatan matahari tanpa pelindung genting atau asbes. Pakaian yang mereka kenakan, tak berganti sudah berhari-hari. Tidak punya rumah, tidak punya baju, apalagi mainan, apalagi es krim.
Gersang, kering, dan terik. Bayangan tentang nikmat es krim pun menjadi hal mewah yang dinantikan anak-anak di pengungsian di Dusun Trengan Lauq, Desa Pemenang Timur. Namun, sayang, kehadiran es krim di sana, dilarang.
"MAAF, DAGANG ES KRIM DILARANG MASUK. KAMI TIDAK PUNYA UANG. JANGAN BIKIN ANAK KAMI MENANGIS LAGI."
Begitu nada keras yang tertulis di sebuah papan, siapapun yang membacanya pasti akan terhenyak. Begitu pun para relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang berkunjung hari itu ke Dusun Trengan Lauq. Posisinya tepat di sebelah kanan jembatan yang dilewati untuk menuju ke area pengungsian. Ditulis dengan huruf kapital, mutlak menyuarakan sebuah ketegasan.
Ironi "DAGANG ES KRIM DILARANG MASUK"
Di pohon yang menjulang gagah selepas diguncang ratusan gempa berkali, terpaku mantap sebuah papan putih yang menyimpan ironi. Para pedagang es krim yang berusaha mencari nafkah dengan menjual es krim keliling, memaknai bahwa area pengungsian dapat menjadi pilihannya untuk mengais rezeki. Agar anak dan istrinya yang juga mungkin saja tinggal di pengungsian, dapat tercukupi kebutuhannya.
Namun, papan larangan berdagang es krim itu pun menjadi ironi. Anak-anak di pengungsian yang berhak atas kasih sayang orang tuanya, tentu merengek memohon dibelikan es krim ketika si pedagang es krim datang ke kamp pengungsian. Tapi uang dari mana?
Bukannya tak ingin. Tapi uang pun sudah tak ada. Rumah ambruk, masjid runtuh, sekolah rubuh, harta benda hancur ditindih atap dan runtuhan rumah. Uang tabungan yang masih tersisa, bagi para orangtua anak-anak itu, harus dialokasikan dengan tepat. Tidaklah mudah bagi mereka, menahan diri dengan mengesampingkan rengekan buah cintanya untuk semangkuk kecil es krim.