ACTNews, PONOROGO - Suara gemuruh longsoran tanah di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo itu masih begitu jelas terngiang dalam benak warga. Longsoran tanah di Sabtu pagi (1/4) kemarin bisa jadi sulit sekali dilupakan sampai hitungan tahun ke depan. Trauma karena suara gemuruh longsoran membuat seratusan warga yang mengungsi tidak bisa tertidur nyenyak.
Bayangkan saja, tebing setinggi kurang lebih 20 meter, dan membentang lebar sepanjang kurang lebih 800 meter tiba-tiba ambrol seketika. Meluncur deras puluhan meter menimbun puluhan rumah, tak luput mengubur hidup-hidup penghuninya.
Semalam tadi, Ahad (2/4) dalam gelap karena padamnya lampu, relawan Aksi Cepat Tanggap ikut menemani ratusan warga yang mencoba beristirahat di Posko Tanggap Darurat BPBD Ponorogo. Dari data yang terpampang di papan informasi posko, tertulis bahwa jumlah penduduk yang terdampak bencana tanah longsor di Desa Banaran mencapai 128 orang. 100 orang berhasil selamat dengan kondisi luka-luka dan trauma berat. Sementara 28 korban lainnya diperkirakan tertimbun tanah puluhan meter.
Sampai tulisan ini diunggah, baru 2 jasad yang ditemukan. Artinya 26 jasad lainnya belum ditemukan sama sekali. Entah berada di titik timbunan tanah sebelah mana, sedalam apa. Proses pencarian 26 korban jiwa masih terus diusahakan, dipimpin oleh BPBD Ponorogo, juga belasan relawan dari Aksi Cepat Tanggap Jawa Timur dan unsur relawan lainnya.
Mengapa begitu sulit menemukan 26 jasad korban lainnya yang tertimbun longsoran tanah? Relawan Aksi Cepat Tanggap Jawa Timur yang berada di lokasi menceritakan, timbunan tanah longsor luarbiasa luas dan dalam.
“Perkiraan timbunan tanah mencapai 20 meter. Puluhan rumah yang ada persis di bawah tebing ini hancur dan tertimbun hanya dalam hitungan detik. Perlu perhitungan akurat titik terakhir keberadaan korban, lalu menggalinya menggunakan ekskavator dan pacul sampai sedalam 20 meter,” ungkap Rohadi, relawan dari ACT Jawa Timur.
Proses pencarian korban pun melibatkan 7 unit alat berat yang didatangkan langsung sampai ke dalam Desa Banaran. Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Ponorogo, Setyo Budiono mengatakan pada media, kebanyakan korban yang tertimbun longsoran pagi itu sedang memanen jahe di kawasan lereng perbukitan. Sebagian lainnya diduga sedang tidur di dalam rumah. Perkiraan korban jiwa 28 jasad yang terkubur itu tak sempat lagi melarikan diri karena longsor datang tiba-tiba, hanya hitungan detik.
Untuk diketahui, titik longsoran tanah di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo berada di atas zona rawan bencana, bahkan tingkat kerentanan longsornya berada di fase kerentanan tinggi. Jika hujan deras kembali terjadi di sekitar lokasi, gerakan tanah dalam jumlah yang besar dan luas bisa kembali terjadi.
Mengutip Tempo, Kepala Badan Geologi, Ego Syarial menjelaskan, titik longsoran di Desa Banaran itu tersusun dari batuan gunung api yang bersifat terurai dan punya banyak retakan. Selain itu, tumpukan tanah di tebing itu menumpang di atas batuan sedimen tersier, membentuk bidang gelincir, mudah sekali memicu longsoran.
Hingga Senin pagi (3/4) Tim Aksi Cepat Tanggap Jawa Timur dibantu belasan relawan memulai aktivitas dari posko Emergency Response ACT yang beralamat di Dusun Cengkir, Desa Singgahan RT 01 RW 01 Kecamatan Pulung, Kab. Ponorogo (Rumah Bapak Toikun).
Pendataan sementara, puluhan kepala keluarga terdampak longsor kebanyakan memilih mengungsi di rumah kerabat atau tetangga terdekat. Kebutuhan paling mendesak yang dibutuhkan meliputi perlengkapan evakuasi, makanan siap saji, air bersih, layanan kesehatan dan obat-obatan, alat kebersihan dan personal hygiene. Tak ada satu pun dari mereka yang sempat menyelamatkan harta benda, kecuali baju yang menempel di badan. Rumah termasuk harta benda habis digulung dan ditimbun longsoran tanah.