KARO - Sepekan terakhir, erupsi Sinabung membubung makin deras. Gunung berapi setinggi 2.451m itu berkali-kali melontarkan material vulkaniknya mencuat dari mulut kawah. Awan panas, abu vulkanik dan kerikil terlontar deras menuruni lereng gunung. tanpa siapa pun bisa menghentikannya.
Puncaknya, Sabtu (21/5) kemarin, luncuran deras awan panas menjelajahi lereng Sinabung dengan kecepatan fantastis! Bayangkan saja 1 Km/detik guguran awan panas menerjang kawasan dalam bahaya sekitar 3 km dari puncak, seperti dikutip dari tuturan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo. Bahkan, ketinggian awan panas yang terlontar di Sabtu (21/5) lalu sampai menyentuh angka 4.500m. Menjadi salah satu episode erupsi terburuk yang pernah terlontar dari Sinabung.
Sembilan orang warga dari Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat menjadi korban dari letusan dahsyat Sabtu pekan lalu. Kabarnya mereka adalah warga Gamber yang nekat kembali ke desanya untuk berladang. Usaha menanam kol, memanen kopi, menilik kebun kentang memang telah menjadi rutinitas sehari-hari sebagian besar warga di sekitar lereng Sinabung.
Padahal kenyataannya sudah sejak Oktober 2014 lalu ribuan jiwa warga Desa Gamber sudah diungsikan seluruhnya tanpa terkecuali. Tak boleh sama sekali untuk dimasuki sebab letusan Sinabung bisa kapan pun terjadi dalam lingkaran zona radius berbahaya itu.
Sontak, tragedi letusan Sinabung Sabtu kemarin mengundang tanya besar, apa alasan sebagian warga di lereng Sinabung tetap nekat untuk menembus garis zona bahaya yang sudah ditetapkan? Padahal ketika erupsi menyentak, tak ada yang mampu melarikan diri lebih cepat dari kecepatan awan panas.
Mencari jawaban dari tanda tanya itu, Tim ACT Medan bergerak kembali ke Kabupaten Karo, 77 Kilometer sebelah barat Kota Medan. Mencoba untuk membingkai ulang cerita, apa yang sebenarnya menjadi dilema dari ribuan pengungsi selama tiga tahun Sinabung erupsi?
Realitas yang membuat nurani tercengang nampak begitu nyata di sepanjang jalan dari Ibukota Karo - Kota Kabanjahe, menuju kawasan lereng Sinabung. Abu vulkanik itu tersebar merata di sepanjang jalan. Menyisakan warna abu-abu kelam di atas dedaunan, di atas genting rumah, di sepanjang jalan aspal. Kasman Sembiring, Camat Namantran yang menemani tinjauan Tim ACT Medan di kawasan lereng Sinabung mengatakan, abu vulkanik sudah jadi bagian dari hidup masyarakat Sinabung selama tiga tahun erupsi.
“Selama Sinabung belum berhenti erupsi, Kami tetap hidup dengan abu. Sembilan ribu tiga ratus pengungsi dari 9 desa harus diungsikan dari Sinabung. Desa mereka jadi desa mati sekarang,” ungkap Kasman. Kecamatan Namantran yang dipimpinnya harus kehilangan 7 desa sekaligus untuk direlokasi di kamp-kamp pengungsian. Tujuh desa di Kecamatan Namantran hanya berjarak tak kurang dari 3 Km dari pucuk kawah Sinabung.
Tim ACT Medan singgah sejenak di Hunian Sementara (Huntara) Perteguhan, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Sebuah bangunan semi permanen berdinding triplek tipis yang dibentuk berupa losmen sederhana dengan aliran listrik seadanya. Huntara ini adalah kamp pengungsian yang digunakan oleh warga korban erupsi Sinabung dari dua desa, yakni Desa Berastepu dan Desa Gamber di Kecamatan Simpang Empat. Walau bentuk bangunan triplek ini nyaris tak layak, setidaknya masih lebih baik dibanding mereka ribuan jiwa yang merebahkan nasib di tenda pengungsian.
Menjelang senja berakhir, Sinabung yang kokoh mulai senyap tak terlihat di balik kegelapan. Tim ACT Medan mencoba untuk berbincang dengan sejumlah penghuni Huntara Perteguhan. Mamak Aca salah satunya. Di depan bara api yang menyala untuk menghangatkan badan dari udara dingin tepian Sinabung, Mamak Aca berkisah bahwa Ia sudah tiga tahun tinggal di Huntara Perteguhan. Setiap bulannya Ia harus membayar sejumlah 200 ribu untuk biaya sewa satu petak Huntara, berhimpit dengan petak lain yang hanya dibatasi oleh triplek tipis.
“Mau gimana lagi anakku, rumah di Desa Berastepu sudah habis tersapu awan panas. Kami belum mendapat rumah pengganti. Selama tiga tahun Mamak tinggal di sini untuk sementara, tapi nggak tahu sampai kapan,” kisah Mamak Aca kepada Kami Tim ACT Medan.