Sejak beberapa tahun terakhir, kisah tentang muramnya pendidikan di tepian negeri, wilayah perbatasan republik Indonesia selalu mengundang duka. Terbatasnya sarana pendidikan yang layak serta persediaan guru pengajar yang nihil sama sekali telah merengut hak-hak pendidikan dasar bagi anak-anak tepian negeri. Jika gerakan Indonesia Mengajar yang dibesut oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan berhasil menginisiasi gerakan kerelawanan menjadi pengajar di daerah-daerah, kini ada pula gerakan baru yang mengambil tajuk “Penddidikan Tepian Negeri”, kali ini fokusnya adalah menyusun batako demi batako, untuk mewujudkan sarana sekolah yang layak bagi anak perbatasan negeri.
Rangkaian kisah epik yang merekam muramnya pendidikan di perbatasan negeri. Dengan semangat kemanusiaan, gerakan yang dimotori oleh Aksi Cepat Tanggap ini satu persatu mulai membangun sarana yang layak bagi akses pendidikan anak-anak perbatasan. Satu kisah muram yang berhasil terekam datang dari Pulau Kabetan, Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah.
Satu kisah ini merekam bagaimana semangat seorang gadis kecil yang nampak bahagia luar biasa bisa melihat lagi sekolahnya dibangun kembali.
Tubuhnya kecil, rambutnya gondrong nyaris tak terurus, usianya baru empat tahun. Tak ada yang menyuruh tiba tiba saja, Raisya yang biasa dipanggil Acang, ikut mengangkut batu dari perahu motor ke lokasi pembangunan sekolah.
Terdorong kegembiraan dusunnya akan segera punya sekolah baru, Acang, anak pasangan nelayan miskin Munser dan Jude ini ikut membantu mengangkut batu dari perahu yang akan dipakai untuk membuat pondasi bangunan sekolah ACT – Cerah Hati, di Dusun Bumbung, Pulau Kabetan, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Walau memang batu yang Ia angkat hanya sebesar genggaman tangan imutnya. Namun besar semangat dan harap Acang jelas terasa
“Melok masikolla jaoditteh,” katanya mantap sambil membuka baju kaos merahnya ketika saya goda, mengapa Ia yang masih kecil ikut membantu. Kalimat dari bibir mungilnya itu kira-kira berarti: Saya nanti akan sekolah di sana.
Tentu saja bukan cuma Acang. Hampir semua anak juga seakan berlomba menunjukkan bahwa mereka punya kontribusi dalam pembangunan ini. Ditambah lagi dengan membantu menyediakan batu dan air, bentuk sumbangan dan partisipasi warga dalam mewujudkan sebuah bangunan yang layak bagi anak anak mereka.
Usra dan Katijah, dua siswi yang kini duduk di kelas dua juga mengaku senang bisa ikut membantu. “Yaku purado mangala bone, kami senang sudah ikut mengangkat pasir,” kata gadis kecil berambut pirang terpanggang matahari ini.
“Mario diang passikollang baru, kami akan punya sekolah baru,” tambah Usra malu-malu menyatakan besarnya keinginan mereka untuk punya ruang belajar yang pantas. Kalimat yang meluncur dari mulut Usra tadi berarti Ingin rasanya secepatnya bisa mewujudkan mimpi bocah-bocah berambut terpanggang matahari di pulau tepi negeri ini. (yus/act.id)
Bila Anda punya semangat dan kepedulian yang sama dengan #aksicepattanggap untuk membangun #100pulautepiannegeri lewat program #CerahHati, Anda dapat berpartisipasi lewat :