Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, kemajemukan ormas islam atau komunitas masyarakat islam di Indonesia selalu punya cerita dan metode tersendiri untuk menentukan awalan ramadhan. Sebagian besar umat muslim di Indonesia, pasti merasa tak nyaman dengan perbedaan puasa dan lebaran tersebut, asumsinya hanya satu, jika dalam ramadhan saja umat muslim Indonesia sudah terpecah belah dalam kubu-kubu perbedaan, lantas bagaimana bisa menyatukan dalam satu kebhinekaan?
Sesungguhnya ibadah yang terbaik adalah ibadah yang dilakukan secara serempak dan berjamaah. Berangkat dari asumsi tersebut, patut disyukuri bahwa perbedaan dalam menentukan awal ibadah ramadhan setidaknya tidak terulang di tahun ini. Kementerian agama, dan dua ormas islam terbesar di Indonesia: Muhammadiyah serta Nahdatul Ulama telah sepakat menetapkan Kamis, 18 Juni esok hari sebagai 1 Ramadhan, awal mula ibadah puasa.
Menarik untuk disimak, sesungguhnya dengan cara apakah permulaan 1 Ramadhan itu ditetapkan? Perbedaan metode inilah yang biasanya di ramadhan tahun sebelumnya seringkali menimbulkan beda pandangan.
Ada dua metode utama yang dilakukan untuk menetukan awalan ibadah muslim di seluruh dunia. Pertama adalah Hisab, yaitu perhitungan secara matematis dan astronomis untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Ilmu astronomi dalam kajian agama islam sangat berpengaruh, karena perhitungan terhadap matahari digunakan sebagai patokan dalam masuknya waktu salat, serta penentuan waktu berpuasa. Sedangkan perhitungan terhadap bulan dilakukan untuk menentukan periode masuknya bulan baru dalam kalender hijriah.
Sedangkan metode kedua adalah Rukyat, atau dijelaskan sebagai aktivitas mengamati dan menilik visibilitas hilal atau penampakan hilal. Hilal adalah penampakan bulan sabit (bulan baru) yang nampak pertama kali setelah terjadinya fenomena ijtimak (konjungsi).
Secara umum, Rukyat dapat dilakukan tanpa menggunakan alat optik astronomis sama sekali (dengan mata telanjang) dengan syarat jika cuaca cerah. Hilal dapat dilihat setelah matahari terbenam. Karena intensitas cahaya hilal yang sangat redup dan sangat tipis, penglihatan hilal akan sangat bergantung pada kondisi cuaca dan polusi cahaya di sekitar lokasi penglihatan hilal. Jika hilal terlihat, maka pada waktu maghrib itu ditetapkan sebagai bulan baru dalam kalender hijriah. Namun jika hilal tak terlihat, maka awalan bulan ramadhan akan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya, digenapkan sebagai 30 hari.
Selama beberapa tahun sebelumnya, perdebatan terhadap penggunaan dua metode inilah yang seringkali menjadi sumber perbedaan awal mula bulan ramadhan. Jika Muhammadiyah lebih condong menggunakan metode rukyat atau perhitungan awal bulan Hijriah menggunakan ilmu astronomis atau ilmu Falak, sedangkan Nahdatul Ulama dan Pemerintah melalui Kementerian Agama menggunakan metode penglihatan hilal atau Rukyat dalam menentukan awalan ramadhan.
Semoga, dalam beberapa tahun ke depan, penentuan awalan ibadah ramadhan di Indonesia dapat terus berlangsung serempak dan bersamaan. Demi memupus perbedaan dalam beribadah ramadhan. Bukankah dengan berjamaah dan bersama-sama, ibadah akan lebih sempurna di mata Allah? (CAL)
   &      Blog ACT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H