Hubungan antara politik dan demokrasi merupakan tema yang penting dan mendalam dalam kajian filsafat politik. Demokrasi, yang berasal dari kata Yunani "demos" (rakyat) dan "kratos" (kekuasaan), secara harfiah berarti kekuasaan oleh rakyat. Namun, dalam praktiknya, penerapan demokrasi dan politik sangat kompleks dan beragam. Kajian filsafat politik mencoba memahami hubungan ini dengan mempertimbangkan konsep-konsep kunci seperti kebebasan, keadilan, partisipasi, dan  representasi. Tulisan ini akan mengkaji hubungan antara politik dan demokrasi melalui lensa filsafat, membahas berbagai pandangan dari para filsuf utama, serta melihat bagaimana konsep-konsep tersebut diterapkan dalam praktik demokrasi modern.
Salah satu konsep inti dalam demokrasi adalah kebebasan. John Stuart Mill, dalam bukunya "On Liberty" (1859), menekankan pentingnya kebebasan individu sebagai dasar dari demokrasi yang sehat. Menurut Mill, kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak fundamental yang harus dijamin dalam masyarakat demokratis. Kebebasan ini memungkinkan adanya dialog dan debat publik yang konstruktif, yang merupakan esensi dari proses politik demokratis. Di sisi lain, filsuf seperti Isaiah Berlin membedakan antara dua konsep kebebasan: kebebasan negatif dan kebebasan positif. Kebebasan negatif adalah kebebasan dari campur tangan orang lain, sedangkan kebebasan positif adalah kebebasan untuk mencapai potensi dan tujuan diri sendiri. Demokrasi idealnya harus menyeimbangkan kedua jenis kebebasan ini, memberikan ruang bagi individu untuk bebas dari penindasan sekaligus menyediakan kondisi yang memungkinkan pengembangan diri.
Aspek lain yang tak kalah penting dalam hubungan antara politik dan demokrasi adalah keadilan. John Rawls, dalam bukunya "A Theory of Justice" (1971), mengajukan teori keadilan sebagai keadilan distributif, di mana prinsip utama adalah kesetaraan kesempatan dan distribusi sumber daya yang adil. Menurut Rawls, institusi demokrasi harus dirancang sedemikian rupa sehingga menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung dalam masyarakat, konsep yang dikenal sebagai "prinsip perbedaan". Selain itu, Amartya Sen, dengan teorinya tentang "Capability Approach", menekankan pentingnya memperluas kemampuan dan kebebasan individu sebagai indikator utama keadilan. Demokrasi, dalam pandangan Sen, bukan hanya soal prosedur elektoral, tetapi juga tentang memastikan bahwa semua individu memiliki kemampuan yang cukup untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan sosial. Dengan demikian, keadilan dalam demokrasi melibatkan distribusi kekuasaan dan sumber daya yang memungkinkan partisipasi penuh semua warga negara.
Partisipasi adalah elemen kunci lain dalam demokrasi. Jean-Jacques Rousseau, dalam bukunya "The Social Contract" (1762), menekankan pentingnya partisipasi langsung warga dalam proses pembuatan keputusan. Rousseau berargumen bahwa kedaulatan tidak bisa diwakilkan; rakyat harus secara langsung terlibat dalam pembuatan hukum untuk memastikan bahwa kepentingan umum terwakili. Namun, dalam praktik modern, demokrasi perwakilan lebih umum diterapkan. Joseph Schumpeter, dalam bukunya "Capitalism, Socialism, and Democracy" (1942), mendefinisikan demokrasi sebagai metode institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan melalui perjuangan kompetitif untuk suara rakyat. Schumpeter berpendapat bahwa demokrasi lebih tentang prosedur elektoral daripada partisipasi langsung. Ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana representasi politik dapat benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.
Masalah representasi menjadi pusat perhatian dalam demokrasi modern. Dalam teori politik, representasi sering kali dilihat sebagai solusi praktis untuk masalah partisipasi langsung dalam masyarakat yang besar dan kompleks. Namun, ini juga menimbulkan tantangan tersendiri. Edmund Burke, seorang filsuf dan politisi Inggris, mengemukakan bahwa seorang wakil rakyat tidak seharusnya semata-mata menjadi agen dari kehendak pemilihnya, tetapi juga harus menggunakan penilaiannya sendiri untuk kebaikan publik. Pandangan ini menyoroti ketegangan antara mandat pemilih dan otonomi perwakilan. Di sisi lain, teori representasi deskriptif berpendapat bahwa wakil yang dipilih harus mencerminkan demografi dan pengalaman masyarakat yang mereka wakili. Ini berangkat dari keyakinan bahwa individu dari kelompok yang berbeda memiliki perspektif unik yang penting untuk dimasukkan dalam proses pembuatan kebijakan. Oleh karena itu, representasi yang adil dalam demokrasi melibatkan tidak hanya jumlah perwakilan, tetapi juga kualitas dan keragaman mereka.
Demokrasi di abad ke-21 menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Globalisasi, teknologi informasi, dan perubahan iklim adalah beberapa isu yang menguji batas-batas sistem demokratis tradisional. Misalnya, globalisasi ekonomi seringkali mengurangi kedaulatan negara, mempersulit pemerintah demokratis untuk membuat kebijakan yang sepenuhnya mencerminkan keinginan rakyatnya. Demikian juga, teknologi informasi membawa serta masalah baru seperti disinformasi dan manipulasi media, yang dapat merusak proses demokrasi. Habermas, seorang filsuf Jerman kontemporer, dalam teorinya tentang "ruang publik", menekankan pentingnya diskusi rasional dan keterlibatan warga dalam ruang publik sebagai cara untuk memperkuat demokrasi. Namun, dalam era digital, ruang publik ini sering kali terfragmentasi dan dipengaruhi oleh algoritma media sosial yang memperkuat polarisasi dan berita palsu. Selain itu, tantangan lingkungan memerlukan tindakan kolektif global yang sering kali sulit dicapai melalui proses demokratis tradisional yang terfokus pada kepentingan jangka pendek dan batas-batas nasional. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana demokrasi dapat berkembang untuk menangani isu-isu global yang mendesak.
Hubungan antara politik dan demokrasi adalah bidang kajian yang kaya dan dinamis dalam filsafat politik. Demokrasi, dengan segala kompleksitasnya, berupaya untuk menggabungkan prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, partisipasi, dan representasi dalam cara yang mencerminkan kehendak rakyat. Melalui lensa filsafat, kita dapat melihat bagaimana berbagai konsep ini saling berinteraksi dan terkadang bertentangan, menciptakan tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat modern. Filsafat memberikan alat konseptual untuk menganalisis dan mengevaluasi praktik demokrasi, membantu kita memahami kekuatan dan kelemahan dari sistem politik kita. Dengan demikian, kajian filsafat tentang hubungan antara politik dan demokrasi tidak hanya akademis, tetapi juga sangat relevan dalam konteks praktis, membantu kita mencari jalan menuju demokrasi yang lebih inklusif, adil, dan responsif terhadap tantangan zaman.
Referensi
Mill, J. S. (1859). On Liberty. London: John W. Parker and Son.
Berlin, I. (1958). Two Concepts of Liberty. Oxford: Clarendon Press.