I. Latar Belakang
Konflik Suriah ialah suatu krisis politik yang berakar dari ketidakpuasan rakyat terhadap rezim otoriter Bashar al-Assad yang sudah lama terkait dengan ketidaksetaraan ekonomi, stagnasi politik, serta keluhan sosial yang memuncak menjadi protes besar-besar pada maret 2011 yang dilakukan oleh para pro-demokrasi. Dimana demonstrasi ini dipicu oleh penangkapan dan penyiksaan anak-anak yang menulis grafiti anti rezim di Dar yakni sebuah provinsi yang miskin dan dilanda kekeringan serta menuntut mengakhiri praktik otoriter rezim Assad yang sudah dilaksanakan sejak ayah Assad yakni Hafiz al-Assad menjadi presiden pada tahun 1971. Namun, pemerintah Suriah memberi respon hal ini dengan menggunakan kekerasan untuk menekan demonstrasi, memanfaatkan pasukan polisi, militer, dan paramiliter secara ekstensif sehingga konflik ini berkembang menjadi perang saudara yang lebih besar. Perang Saudara yang berlangsung di Suriah ini terjadi antara pemberontak pro-demokrasi dan rezim Presiden Bashar al-Assad yang sudah lama berkuasa.Â
Sejak awal, pemberontakan dan tindakan pemerintah ini memiliki banyak sektarian dimana banyak pengunjuk ras yang berasal dari mayoritas Sunni, sedangkan rezim Assad didominasi oleh minoritas Alawi. Perpecahan sektarian ini pada awalnya tidak sekaku yang sering dianggap. Namun, seiring berjalannya konflik ini membuat perpecahan sektarian yang kuat. Selain itu, Assad menggambarkan pihak oposisi sebagai ekstremis Islam Sunni yang menyerupai al-Qaeda dan sebagai peserta konspirasi asing terhadap Suriah. Rezim tersebut juga menyebarkan propaganda yang memicu ketakutan kaum minoritas bahwa pihak oposisi yang sebagian besar beragama Sunni akan melakukan pembalasan yang kejam terhadap komunitas non-Sunni. Seiring dengan meningkatnya kekuatan dan ukuran protes, rezim merespons dengan kekuatan yang lebih besar. Dalam beberapa kasus, hal ini dilakukan dengan mengepung kota atau lingkungan yang telah menjadi pusat protes, seperti Bniys atau Homs, dengan tank, artileri, dan helikopter serang serta memutus utilitas dan komunikasi. Sebagai tanggapan hal ini beberapa kelompok pengunjuk rasa mulai mengangkat senjata melawan pasukan keamanan.
II. Dinamika Konflik
Pada pertengahan 2011, kekuatan internasional mulai terlibat dalam konflik Suriah. Dimana negara-negara tetangga Suriah dan kekuatan global mulai terbagi menjadi kubu yang pro dan anti-Assad. Amerika Serikat dan Uni Eropa di bawah kepemimpinan Presiden AS Barack Obama dan beberapa pemimpin Eropa menyerukan agar Assad mengundurkan diri. Kemudian, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Liga Arab juga menjatuhkan sanksi kepada para anggota senior pemerintahan Assad sebagai bentuk tekanan. Selain itu, blok anti-Assad juga terdiri dari Qatar, Turki, dan Arab. Dimana Arab Saudi memandang konflik ini sebagai bagian untuk membatasi pengaruh Iran di Suriah dan di kawasan Timur Tengah secara keseluruhan. Arab Saudi juga telah memberikan dukungan politik dan finansial terhadap kelompok-kelompok oposisi Suriah terkhusus bagi kelompok-kelompok yang menentang rezim Assad. Selanjutnya, Turki juga menentang rezim Alawite yang bersekutu serta menyalahkan Assad karena telah memicu kerusuhan berdarah di antara suku Kurdi di negaranya sendiri.Â
Sementara itu, Qatar memiliki peran yang cukup dinamis dan dipengaruhi oleh beberapa faktor domestik dan regional. Pada awalnya, Qatar sangat mendukung oposisi Suriah terkhusus pada fase awal konflik yang dimulai pada 2011. Dukungan ini sejalan dengan kebijakan luar negeri Qatar yang sering kali mendukung gerakan-gerakan Islamis dan oposisi di Timur Tengah, termasuk Ikhwanul Muslimin, yang memiliki hubungan erat dengan beberapa kelompok oposisi di Suriah. Namun, posisi Qatar mengalami perubahan setelah tahun 2013 hal ini  dipengaruhi oleh faktor-faktor domestik dan regional seperti  pergantian kepemimpinan di Qatar yakni Emir Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani dan upaya untuk meredakan ketegangan dengan Iran, yang merupakan pendukung utama Assad. Sehingga membuat dukungannya terhadap oposisi menjadi lebih berhati-hati dan kurang agresif dibandingkan sebelumnya.Â
Sementara, sekutu lama Suriah yakni Iran dan Rusia masih terus memberikan dukungan terhadap Assad. Dimana, Rusia secara konsisten mendukung rezim Assad, yang menjadikannya pemain kunci dalam dinamika konflik ini serta memberikan perlindungan politik kepada Assad. Rusia juga memandang upaya Barat untuk menggulingkan Assad sebagai langkah yang dapat merusak stabilitas di Suriah dan Timur Tengah. Selain itu, Iran juga sudah mengakui serta meningkatkan dukungan terhadap Bashar al-Assad yakni dengan mengirim Garda Revolusi untuk melatih pasukan milisi pro-rezim serta memiliki aliansi yang sudah lama sebagai bagian dari 'poros perlawanan' terhadap kepentingan AS dan Israel yang juga melibatkan Hizbullah dan Hamas. Dan salah satu kepentingan utama Iran di Suriah ini secara tradisional ialah untuk mempertahankan koridor daratnya untuk memasok senjata kepada Hizbullah. Oleh karena itu, Iran terus mendukung pemerintah Suriah dalam menghadapi pemberontakan dengan tindakan keras.
III. Dampak Konflik
Konflik ini telah menjadikan Suriah sebagai negara yang paling tidak damai dalam Indeks Perdamaian Global (GPI) 2017 untuk dua tahun berturut-turut. Dimana, GPI menempatkan negara tersebut di antara lima negara paling tidak damai di dunia sejak dimulainya perang saudara. Suriah juga menjadi satu-satunya negara yang mencatatkan tingkat kedamaian rendah di ketiga aspek GPI, yakni konflik yang berlangsung terus-menerus, keselamatan dan keamanan, serta tingkat militerisasi. Konflik ini juga telah mengakibatkan kematian sekitar 250.000-470.000 orang dan menyebabkan lebih dari 13,5 juta warga Suriah mengungsi baik di dalam maupun luar negeri serta menyebabkan pemerintahan yang lemah, lembaga-lembaga yang korupsi, dan memburuknya banyak layanan dan lembaga sosial di negara tersebut. Biaya ekonomi yang tidak proporsional juga menjadi salah konsekuensi terbesar dari ketidakstabilan dan kekerasan yang diakibatkan oleh Perang Saudara Suriah ini. Dimana, negara ini memiliki biaya ekonomi tertinggi akibat kekerasan, dengan rata-rata sekitar 67% dari PDB mereka dihabiskan untuk biaya terkait kekerasan pada tahun 2017. Selain itu, hampir setengah populasi Suriah mengungsi sebelum terjadinya perang, sekitar 85% warga Suriah hidup dalam kemiskinan, lebih dari 12,8 juta orang memerlukan bantuan Kesehatan, lebih dari tujuh juta orang mengalami kerawanan pangan, serta sekitar 1,75 juta anak tidak bersekolah. Konflik ini juga telah menurunkan standar hidup nasional selama beberapa dekade, karena sistem perawatan kesehatan, sekolah, dan sanitasi sebagian besar telah rusak atau hancur.
IV. Kesimpulan
Dengan demikian, konflik dapat disimpulkan sebagai salah satu bencana kemanusian yang terbesar di abad ke-21. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh ketidakpuasan rakyat terhadap politik dan ekonomi di dalam negeri tetapi juga diperburuk oleh intervensi luar negeri yang membawa kepentingan geopolitik dan sektarian. Dengan terjadinya konflik ini juga telah  menyebabkan kematian ratusan ribu orang, kerusakan infrastruktur, memaksa kurang lebih jutaan rakyat Suriah untuk mengungsi baik di dalam ataupun luar negeri, kemiskinan, serta menciptakan beban sosial dan ekonomi yang sangat berat. Krisis ini juga memperlihatkan kegagalan komunitas internasional dalam mencapai solusi damai yang komprehensif. Selain itu, konflik ini meninggalkan jejak trauma mendalam yang akan mempengaruhi generasi mendatang baik dari segi fisik, segi ekonomi, serta segi psikososial.