Mohon tunggu...
Willem Pieter
Willem Pieter Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis adalah Gambaran Jiwa

Yayan Putera Maluku. Bukan berlatar belakang politikus atau sastrawan tapi suka menulis tentang politik dan sastra. This is my soft skill.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Bagai Memegang Besi Panas

25 Januari 2015   19:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:24 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14221627721168263158

Pemerintahan Joko Widodo yang baru seumur jagung sudah mulai menunjukan kekecewaan pada rakyat yang memilihnya. Perselisihan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus POLRI ditenggarai sebagai akumulasi permainan politik partai pendukungnya yakni, PDI-P dan NASDEM. Politik partai dibelakang layar ini bukan rahasia lagi melainkan sudah menjadi kunsumsi media dan publik yang tidak lagi mempercayai sang maestro wong cilik pilihan rakyat saat pemilihan presiden lalu. Dalam kasus penangkapan wakil ketua KPK Bambang Widjojanto tidak terlepas dari mata rantai peristiwa perselisihan atara KPK dan POLRI pada masa pemerintahan presiden SBY. Pada masa pemerintahan SBY beberapa kali terjadi perselisihan yang sama dan populer disebut sebagai cicak versus buaya.

[caption id="attachment_366002" align="alignnone" width="300" caption="Presiden Jokowi memberi Pernyataan atas perselisihan KPK vs POLRI ( sumber gambar: www.kompas.com )"][/caption]

Namun dalam pemerintahan sekarang ini, Jokowi yang alih-alih menjadi "penjinak bom" KPK-POLRI justru menunjukan pemicu dari meledaknya bom waktu Perselisihan KPK versus POLRI. Penunjukan Budi Gunawan sebagai kapolri adalah bagian dari dilematis seorang Jokowi akibat tekanan dari partai politik sehingga jokowi lupa pada janji-janjinya untuk penegakan hukum. Budi Gunawan sebelumnya sudah di-red list oleh KPK karena kasus rekening gendutnya, tidak didengar oleh presiden Jokowi. Sebagai pendukung setia Jokowi, kekecewaan saya tentunya sama dengan kekecewaan rakyat pada umumnya. Meski Budi Gunawan sudah membantahnya, tetap saja rakyat tidak percaya pada keputusan Jokowi. Hal ini membuktikan bahwa rakyat begitu mencintai pemberantasan korupsi dari pada membiarkan mata air korupsi menggenangi aliran suci nawa cita.

Balas dendam PDI-P pada KPK terlihat dari pernyataan petinggi Hasto Kristiyanto yang menyerang ketua KPK dengan mengungkap dosa-dosa Abraham Samad. Belum lagi tuntas penyelidikaan oleh komite etik KPK, Polri sudah membuat blunder atas penangkapan Bambang Widjojanto atas tuduhan terlibat dalam kasus sidang pilkada Kota Waringin Barat. Tak tangung-tanggung polisi menangkap wakil ketua KPK ini atas tuduhan kesaksian palsu pada sidang sengketa pilkada.

Presiden yang ditunggu rakyat agar bertindak tegas atas gesekan KPK vs POLRI, hanya mengeluarkan pernyataan normatif layaknya seseorang yang tidak mempunyai power. Ketidakpuasan rakyat pada Jokowi ditunjukan oleh semua elemen masyarakat yang terus berusaha melindungi KPK. Jokowi bak mau memegang besi panas, penuh kekhawatiran saat ingin membela kemauan rakyat. Suam-suam kuku Jokowi ditenggarai oleh berbagai pihak karena Jokowi kalah dari tekanan partai pendukungnya.

Jokowi dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dikhwatirkan akan bernasib sama dengan Soekarno versus Bung Hatta. Manuver dan permainan kasar partai pendukung melalui politik belakang layar memunculkan banyak pertentangan dengan janji Jokowi saat kampanye. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sepertinya memainkan politik per-sate-an, bukan politik yang berdasarkan asas per-satu-an.

Bung Hatta dalam buku Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs. Bung Hatta oleh Wawan Tunggul Alam, menyebutkan bahwa sate memang bisa disatukan, seperti sate kambing, kerbau dan sate ayam bisa dijadikan satu kesatuan sate. Tapi masyarakat yang menikmati sate tersebut mempunyai selera yang berbeda, ada yang suka sate kambing tapi tidak suka sate ayam sehingga mereka memilih untuk membuang sate ayam, atau sebaliknya ada yang suka sate ayam dan menyesampingkan sate kambing. Pernyataan Bung Hatta ini dituangkan dalam sebuah artikel koran Daulat Rakyat edisi 20 Desember 1932. Dalam artikel tersebut, Bung Hatta secara langsung mengkritisi kebijakan Soekarno yang mendapat amanat dari hasil konfrensi PPPKI di Solo pada Agustus 1932 untuk mereorganisasi PPPKI dan mengabungkan partai-partai lain untuk mendukung pemerintahannya. Menurut pemahaman Bung Hatta, penggabungan partai-partai politik tentunya akan tidak sesuai dengan selera bangsa Indonesia yang majemuk karena asas dari demokrasi Indonesia adalah asas Persatuan Indonesia.

Tanpa mengesampingkan partai politik, Jokowi diharapkan tidak perlu takut dalam menggenapi semua janji-janjinya untuk penegakkan hukum dalam peberantasan korupsi, karena rakyat memilih Jokowi bukan atas dasar kepentingan partai tapi atas dasar cita-cita bangsa diantaranya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jokowi seharusnya dapat memutuskan mata rantai perselisihan KPK vs POLRI secara tegas, bukan hanya sebatas retorika belaka sehingga masalah ini tidak dimanfaatkan oleh pihak lain untuk mengobok-ngobok pemerintahannya. Bukan hanya itu partai-partai pendukung pemerintahan juga harus menjadi titian aspirasi rakyat dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan yang notabene bertolak belakang dengan vested interst para elit partai.

Dalam permainan catur politik, seorang pejabat negara sekelas presiden tentunya tidak perlu terbawa dinamika politik kepartaian yang lebih condong pada loyalitas partai dari pada berpihak pada rakyat. Hitam putih yang dilewati oleh setiap bidak catur harus diangkat oleh tanggan yang kuat, yakni tangan rakyat Indonesia.

Andai kata jika Jokowi gagal mengakomodir kepentingan rakyat, maka jangan salahkan rakyat jika rakyat pula yang akan mengembalikan kursi yang dipinjamnya untuk duduk sebagai presiden rakyat Indonesia. Semoga sifat ego Bung Karno yang seharusnya dibuang dan diambil yang baiknya saja, tidak diturunkan pada PDI-P yang menganut paham Soekarno benget.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun