Mohon tunggu...
Yayan Sugiana
Yayan Sugiana Mohon Tunggu... TNI AL -

Suami dari seorang istri dan bapak dari tiga orang anak yang berkeinginan besar dapat memberi manfaat kepada lingkungan tempatnya berada.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidup di Kapal Selam: Together in Harmony; Tabah Sampai Akhir!

14 Oktober 2015   21:47 Diperbarui: 14 Oktober 2015   22:02 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="KRI Nanggala-402 sumber foto: Sertu Marinir Kuwadi"][/caption]Bisa memasuki kapal selam merupakan anugerah tersendiri bagi saya. Sebab, tidak bisa sembarang orang bisa masuk ke dalam alutsista (alat utama sistem senjata) milik TNI AL tersebut. Jangankan masyarakat sipil, anggota angkatan laut pun belum tentu semuanya pernah memasukinya. Harmonis, sabar, dan tabah. Itulah Kesan pertama yang saya tangkap saat mengamati kehidupan di kapal selam.

Together in Harmony
Kedatangan saya disambut hangat oleh Komandan Kapal Selam KRI Nanggal-402. Kami diajak berjalan-jalan berkeliling ruangan dalam dengan dipandu seorang bintara utama. Jangan bayangkan kami berjalan-jalan dalam ruangan lapang dan leluasa. Lorong yang kami lewati lebarnya tak lebih dari setengah meter. Ruangan agak lebar hanya bisa ditemui di ruang kendali. Itu pun lebarnya sekitar dua meter. Selebihnya, hanyalah lorong-lorong sempit mirip lubang persembunyian tentara Viet Cong zaman Perang Vietnam berkecamuk pada tahun 70-an.

Sulit dibayangkan, bagaimana kehidupan bisa berlangsung pada saat kapal sedang menyelam. Jumlah kru kurang lebih 80 orang. Selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan kehidupan hanya berkutat dalam ruangan sempit tersebut. Tentu jemu dan jenuh. Sementara udara yang dihirup hanya bersumber dari oksigen daur ulang. Sebagaimana kita ketahui, pada saat bernafas kita mengeluarkan CO2. Ya, dari karbondioksida tersebut oksigen yang dihirup oleh para awak kapal selam bersumber. Karbondioksida didaur ulang menggunakan sebuah alat. Dibuang karbonnya lalu disisakan O2-nya.

Coba bandingkan dengan oksigen di alam terbuka. Kita sehari-hari menghirupnya dengan leluasa. Dari persoalan menghirup udara ini saja, kita bisa membayangkan betapa tinggi risiko yang harus ditanggung para kru kapal selam. Belum risiko-risiko lainnya.

Kata sang komandan, ketika khutbah jumat berlangsung di sebuah masjid, bisa saja ada jama’ah yang berbicara. Demikian pula di gereja, ketika seorang pendeta memimpin doa, kadang masih ada jemaat yang beceloteh. Tapi, ketika komandan kapal selam sebelum berlayar memimpin doa, tak kan ada kru yang berani bersuara. Mereka mengikutinya dengan khusuk dan sangat khidmat. Itu semua dikarenakan para kru menyadari betapa besar risiko dan ancaman kematian yang dihadapi oleh mereka.

Satu lagi yang tak kalah penting adalah mengenai keharmonisan. Jika terjadi silang pendapat, para kru akan segera menyelesaikannya secepat mungkin sebab keharmonisan atau keguyuban adalah harga mati dalam kapal selam. Ketidakharmonisan bisa memengaruhi pengendalian hingga menyebabkan kapal selam mengalami kecelakaan fatal. Dan berkah together in harmony tersebutlah yang menjadikan kapal selam kita bisa eksis hingga sekarang.

Komandan kapal selam juga menjelaskan kepada saya bahwa dalam hubungan antarawak memang sangat dikedepankan hirarki dan garis komando namun dalam suasana serba egaliter. Hal itu didasari oleh sebuah kesadaran bahwa setiap awak memiliki peran yang sama pentingnya. Tidak ada yang merasa superior dan tak ada juga yang merasa dirinya inferior. Semuanya sama. Bahkan, seorang anak buah bisa membantah perintah atasannya jika ia merasa bahwa perintah itu akan mengancam keselamatan kapal selam beserta seluruh awaknya.

[caption caption="Penulis nampang sejenak di Ruang Kendali KRI Nanggala-402"]

[/caption]Tabah Sampai Akhir
Selesai berkunjung dari kapal selam tersebut, saya kemudian merenung tentang bahtera rumah tangga yang dibangun oleh dua anak manusia. Ya, hubungan itu, menurut saya, ibarat suasana dalam sebuah kapal selam juga. Jika suami-istri merasakan adanya kepentingan dan risiko yang harus ditanggung bersama, rumah tangga itu tak kan pernah kandas ataupun karam. Jika dalam hubungan tersebut tidak ada yang merasa berkuasa dan dikuasai, maka hubungan cinta kasih itu akan awet hingga akhir zaman.

Demikian pula, jika mahligai cinta tersebut dibangun dalam iklim yang sangat egaliter, tidak ada yang menindas dan tak ada yang tertindas, maka mahligai itu akan everlasting. Kalaupun harus berakhir, maka akan berakhir dengan happy ending. Tidak ada yang menuduh dan tak ada yang menjadi seorang tertuduh. Tidak saling menyalahkan. Setiap ujian kehidupan dihadapi bersama. Segenap risiko ditangani dengan penuh ketabahan dan kesabaran hingga akhir. Sebagaimana semboyan kapal selam yang beberapa waktu lalu saya kunjungi: Wira Ananta Rudira, Tabah Sampai Akhir!

Artikel ini juga dimuat di Blog Probadi saya: www.tipsmencarijodoh.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun