sumber gambar: http://ednisofia.files.wordpress.com
Siang itu suasana kelas kami, kelas 2 sebuah SMP negeri yang terletak di Bandung Timur, terkesan suram. Permasalahannya bukan karena akan turun hujan atau dikarenakan ada salah satu siswanya menerima berita duka, melainkan disebabkan pada jam pertama Pak Darta, guru matematika kami akan mengawali pelajarannya.
Kota Bandung yang dikenal dengan udara sejuknya, siang itu tiba-tiba saja saya rasakan panas sekali. Â Peluh bermunculan memenuhi kening. Meskipun sudah diusap berkali-kali dengan punggung tangan, buliran cair sebesar-besar jagug itu kembali muncul memenuhi kening lalu meluncur membasahi wajah.
Keringat dingin juga membasahi telapak tangan. Lembaran buku menjadi basah karenanya. Saya sudah patah arang memecahkan soal-soal trigonometri yang kemarin oleh Pak Darta dijadikan bekal pekerjaan rumah. Penjelasan Pak Darta dua hari yang lalu mengenai teori-teori trigonometri lepas begitu saja dari pikiran. Otak saya tidak bisa sigap menangkapnya. Mencoba berdiskusi dengan teman sebangku, sama-sama tidak mudengnya. Dan ketika rasa frustasi mencapai puncaknya, pikiran polos saya mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa malaikat di alam kubur diyakini tidak akan menanyakan teori trigonometri dan teori-teori matematika lainnya yang tidak bisa saya jawab. Saya menjadi sedikit tenang setelah itu. Setidak-tidaknya saya masih punya kesempatan untuk bisa masuk surga.
Sebenarnya Pak Darta bukanlah tipe guru killer. Orangnya cenderung santun dan amat bijaksana. Jauh dari ringan tangan. Siapa pun tak kan pernah menjumpai Beliau mengajar dengan suara meledak-ledak. Suaranya lirih saat mengajar kami.
Tak ada satu pun di antara kami yang pernah membencinya. Satu hal yang saya takuti dan juga oleh teman-teman dengan tingkat kedangkalan pemahaman matematika yang sama dengan saya, adalah saat Pak Darta menyuruh kami satu per satu tampil di depan kelas, mengerjakan soal matematika. Bagi yang lancar bisa mengerjakan soal itu, tak akan ada permasalahan tentunya. Namun, bagi seseorang yang hanya dapat melihat soal itu sebagai onggokan angka-angka tak bermakna, barulah permaslahan akan muncul. Coba bayangkan, Anda mengerjakan soal matematika yang tidak Anda pahami dengan ditonton oleh teman sekelas Anda. Perasaan apa yang akan Anda rasakan?
Sialnya, setiap saya maju dan mengerjakan soal di papan tulis tak pernah sekali pun berjalan mulus. Setiap melewatinya tangan mesti gemetar. Soal itu baru terjawab setelah belasan kapur saya habiskan dan teman-teman berceloteh tentang apa yang harus saya tuliskan. Begitu berbalik menghadap kawan-kawan sekelas muka rasanya merah padam.
Oleh sebab itu, ketika kabar tersiar bahwa pagi tadi Pak Darta digigit anjing gila, sontak mulut saya dan mulut kawan-kawan sesama bukan fans berat Pak Darta berucap syukur ke hadirat Tuhan YME. Kami yakin siang ini jam pelajaran Pak Darta akan hilang dan digantikan pelajaran berikutnya.
Namun apa yang saya duga ternyata meleset seratus persen. Pak Darta masuk kelas kami sejenak setelah lonceng berbunyi dan para murid sudah duduk di bangkunya masing-masing. Beliau berjalan tertatih-tatih. Mulutnya meringis menahan rasa sakit. Beliau berjalan menghampiri tiap bangku mengecek pekerjaan rumah kami. Pak Darta kembali menyuruh saya tampil ke depan mengerjakan soal nomor satu dari PR yang dibekalkan kepada kami dua hari yang lalu. Untuk kesekian kalinya kembali saya rasakan bumi berhenti berputar.
Tiga puluh tahun telah berlalu dan selama itu saya tidak pernah berjumpa lagi dengan Pak Darta. Kepada Yang Saya Muliakan Pak Darta, di manapaun Bapak berada, pada kesempatan ini izikanlah murid Bapak yang durhaka ini untuk memohon ampun kepada Tuhan dan meminta maaf kepada Bapak atas ucapan puji syukur yang tidak pada tempatnya itu. Semoga jiwa pengabdian Bapak untuk bisa mencerdaskan bangsa ini juga tertular kepada para guru generasi penerus Bapak. Amien!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H