[caption id="attachment_191345" align="aligncenter" width="576" caption="Foto: Wali Santri Gontor, Grup facebook"][/caption] Apa sebenarnya yang memotivasi anak-anak saya hingga begitu berminat menjadi anggota keluarga besar Ponpes Modern Darussalam Gontor. Secara pribadi, melepas anak hidup mandiri di pondok pesantren merupakan ujian paling berat yang harus saya rasakan. Anda yang sudah berkeluaraga tentu sependapat dengan saya bahwa anak adalah permata yang tak akan bisa ditukar dengan kemilau harta. Seberapa pun itu banyaknya.
Dan kali ini saya dihadapkan pada sebuah dilema. Harus berpisah dengan dua anak sekaligus untuk rentang waktu berkisar antara 5 sampai dengan 7 tahun, sekalipun di akhir pekan masih memungkinkan untuk menemui mereka. Gontor masih bisa ditempuh dalam waktu kurang sehari saja dari Surabaya.
Saya bayangkan seandainya mereka telah menyelesaikan pendidikan di Gontor kemudian menuntut ilmu di luar kota atau di luar negeri, berarti, hanya 12 dan 15 tahun saja saya dan istri menikmati kebersamaan dengan mereka. Rasa kehilangan masih membekas di hati saya bersama istri hingga hari ini.
Kekuatan tekad dalam jiwa kedua anak itu akhirnya membuat saya dan istri luluh lalu menepis rasa tega dalam sanubari. Kami pun kemudian berangkat menuju Pondok Modern Darussalam Gontor. Rabu 23/5 pagi, kami bertolak dari Surabaya dengan sebuah kendaraan pinjaman. Setelah menempuh perjalanan selama empat jam, kami pun tiba di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi, tempat Pondok Modern Gontor Putri 2 berada.
Proses pembekalan kami terima dari pimpinan pondok yang menekankan tentang kesederhanaan dan tuntutan kemandirian yang akan diterima oleh para santri. Ya, saya perhatikan mereka makan dengan menu yang sederhana. Sangat bertolak belakang dengan pesanan yang sering saya terima dari anak-anak saya. Mereka sepertinya sudah terbiasa dengan aneka fast food, produk budaya negeri Paman Obama. Namun saya menyadari, justru sajian sederhana itulah yang telah menghantar lahirnya beberapa nama besar sekelas Idham Chalid, Dien Syamsudien, Nurcholis Majjid, Hidayat Nur Wahid serta nama-nama besar lainnya.
Proses regestrasi pun selesai dan anak saya pun kemudian berbaur dengan teman-teman barunya. Di Gedung Medinah anak saya berbaur tidur satu ruangan dengan 29 para calon santriwati dari berbagai penjuru tanah air. Beberapa di antaranya berasal dari Malaysia, Singapura, dan dari Thailand. Jangan Anda bayangkan mereka merebahkan badan di atas kasur mewah atau spring bed. Mereka tidur hanya beralaskan kasur lipat sederhana yang digelar di atas lantai.
[caption id="attachment_191347" align="aligncenter" width="576" caption="Foto: Wali Santri Gontor, Grup facebook"]
Setelah menyeka sisa-sisa air mata di pelupik mata, kami meninggalkan putri kami yang berdiri sambil melambaikan tangan. Jumat 25/5 saya dan istri mendaftarkan anak kedua kami di Ponpes Modern Darussalam Putra 2 Gontor Ponorogo. Prosesnya pendaftaran tidak jauh beda dengan yang berlangsung di Ponpes Putri. Setelah registrasi kami ajak anak kedua kami menuju Gedung Palestina, asrama tempatnya tinggal selama menanti masa tes seleksi. Seperti halnya di Pondok Putri, malam hari kami pun menerima pembekalan dari pimpinan pondok tentang tata tertib dan kehidupan yang akan ditempuh oleh para calon santri.
“Ikhlaskan putra Bapak dan Ibu kami didik di sini,” ujar pimpinan pondok. “Kami jaga amanah ini dengan sepenuh hati agar mereka menjadi insan yang berguna bagi bangsa, negara, dan agama yang dianutnya.” Setengah bercanda ustaz yang tampak kharismatik itu menyampaikan bahwa menu sehari-hari santri di Gontor tak pernah lepas dari sajian "sate", yakni sayur tewel (nangka muda), sayur tempe, dan sayur telo (ketela)
Malam itu anak saya mulai mengatur irama hidupnya sesuai jadwal yang ditetapkan Pondok. Dini hari ia bangun lalu melaksanakan shalat tahajjud dilanjutkan shalat subuh berjamaah di masjid Pondok yang besar tersebut. Ia mulai belajar mandiri memenuhi segala keperluannya mulai dari mencuci pakaian sampai dengan membereskan tempat tidur dan membersihkan lingkungan di sekitar Pondok.
Dia yang biasa sulit dibangunkan manakala waktu sekolah tiba, pagi itu tampak bergegas menuju ruangan kelasnya. Dengan setelan hem putih dan pantalon warna gelap, sepatu pantopel, serta peci hitam di kepalanya ia tampak tekun mengikuti pelajaran pertamanya.
Bangga dan sedih bercampur aduk melihat aktivitasnya pagi itu. Naluri orang tua yang selalu ingin berdekatan dengan sang anak benar-benar diuji. Mulai malam nanti, pikir saya, tak akan ada lagi kesempatan mengusap kepalanya saat dia tidur pulas.
[caption id="attachment_191349" align="aligncenter" width="576" caption="Foto: Wali Santri Gontor, Grup facebook"]
Perpisahan dengan anak lelaki kedua kami sudah tidak bisa dielakkan lagi. Saya bisikkan di telinganya bahwa cinta kasih kepadanya jauh melebihi segala-galanya. Semoga kelak linangan air mata ini bisa bertukar dengan senyuman bangga akan keberhasilan dirinya. Bila kelak ia menjadi seorang tentara, polisi, menteri, presiden, bahkan menjadi seorang politisi sekalipun, semoga dirinya bisa benar-benar menjaga amanah. Semoga kelak dirinya bisa menjadi solusi bagi karut-marut yang sering melanda negeri ini.
Dan dari sanubari yang paling dalam aku sampaikan padamu Gontor, kutitipkan anak-anakku demi masa depannya yang gemilang, demi bangsa dan negara yang sangat dicintainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H