[caption id="attachment_91081" align="alignleft" width="300" caption="Sumber gambar: http://3.bp.blogspot.com"][/caption]
Tidak jelas asal-usul Mad Kai. Nenek saya mengungkap silsilahnya selewatan saja. Katanya, Mad Kai berasal dari Pakidulan, sebut an untuk daerah pesisir di wilayah Tasikmalaya. Bagi saya Mad Kai adalah profil pekerja keras dan perkasa. Pundaknya biasa mengangkut batu dengan berat beban pikulan dua hingga tiga kali dari lelaki penambang batu lainnya. Porsi makannya juga sesuai dengan tenaga yang dikeluarkannya. Orang-orang sekampungnya harus menyiapkan porsi nasi ekstra bila mempekerjakannya. Begitu menerima orderan batu untuk pondasi rumah, pada saat fajar belum menyingsing ia sudah memecah batu di Sungai Cikunten.
Seumur hidup saya belum pernah melihat Mad Kai tersenyum. Wajah sangarnya membuat anak-anak seusia saya waktu itu berpikir dua kali untuk baku tatap dengannya. Sesungguhnya saya berteman karib dengan Darman, anak tertuanya. Namun demikian, tak pernah sekali pun saya bertandang ke rumahnya. Jangankan masuk, lewat di depan rumahnya pun saya akan berpikir masak-masak.
Kalau sudah datang marahnya, Mad Kai akan berteriak hingga suaranya membahana memenuhi seisi kampung. Tingkat frekuensi teriakan Mad Kai baru saya temukan padanannya ketika menonton film King Kong pada tahun 1978.
Puluhan kali Mad Kai betengkar dengan Bi Acih. Mereka berdua akan memilih kolam ikan samping rumahnya sebagai ajang pertarungan mati hidupnya. Saya sering menyaksikan pertarungan itu. Mirip laga benjang (gulat ala Ujungberung Bandung), keduanya saling memiting dan saling banting. Sebenarnya kata saling tidak tepat digunakan karena yang bolak-balik dibanting adalah Bi Acih. Istri Mad Kai itu hanya mampu melawan dengan cercaan dan sumpah serapah saja. Selanjutnya tubuh mungil itu diinjak kaki Mad Kai dibenamkan ke dasar kolam yang kecoklatan. Kalau tindakan KDRT-nya sudah dirasakan puas, Mad Kai akan mengangkat tubuh istrinya lalu melemparkannya ke tepian kolam. Dua hari seusai pertengkaran itu, kita akan mendengar kehangatan kembali mewarnai kehidupan mereka. Keduanya akrab bercengkrama saat berdiang di depan tungku perapian. Tak ada sisa perseteruan.
Lima tahun pun berlalu; cerita Mad Kai lepas begitu saja dari ingatan sampai suatu saat saya kembali mengunjungi kampung halaman di kaki gunung Dingdingari itu. Lamunan tersentak oleh ketukan pelan di pintu depan rumah nenek saya. Ketika pintu dibuka, seorang lelaki renta dengan gemetar menengadahkan tangannya berharap sedekah. Yang tertinggal di badannya hanyalah tulang yang diliputi kulit keriput dan minim daging. Sarung dan kopiah yang dikenakannya tampak lusuh
Setelah menerima selembar uang kertas dari tangan saya, ia beringsut perlahan. Langkahnya tampak gontai dengan tubuh bungkuk ditopang sepotong kayu. Mad Kai, lelaki yang dulu saya kenal paling perkasa itu tak menampakkan sisa kedigdayaannya.
Â
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H