[caption id="attachment_75122" align="alignleft" width="300" caption="sumber gambar: http://4.bp.blogspot.com"][/caption] Saya teringat almarhumah nenek dan almarhum kakek saya. Setiap kali bertandang ke Bandung dari pinggiran sebuah desa yang terletak di kaki gunung Galunggung Tasikmalaya, selalu resah dan gelisah. Topik pembicaraannya tak pernah lepas dari urusan pekerjaan di sawah yang ditinggalkan dan ternaknya yang harus dicarikan pakan. Alasan lain yang disampaikan adalah permasalahan badannya yang terasa sakit dan kaku. Katanya di desa mereka biasa bekerja, sementara di rumah kami, mereka hanya duduk-duduk saja. Sebagai bentuk penghormatan, beliau memang kami larang untuk mengerjakan pekerjaan rumah, sekalipun hanya menyapu halaman. Alhasil, tak pernah lebih dari tiga hari Beliau berkumpul dengan anak cucunya di kota kembang itu. Selanjutnya, kembali ke desa. Rasa kangennya pada sawah, palawija, ayam, dan kambingnya telah meruntuhkan kerinduan kepada anak cucunya. Hal yang sama tentunya dirasakan juga oleh ribuan jiwa penghuni barak-barak pengungsian korban erupsi Merapi.  Betapa setiap hari waktu bergulir dan terkikis habis oleh kegiatan tak menentu di tengah ketidakpastian dalam ruangan minim privasi. Saya bisa merasakan denyut kegelisahan dalam hati mereka. Pak Mangku, misalnya, kakek berusia 74 tahun ini nekat pulang ke kampungnya di Desa Umbulharjo Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Padahal, tempat tinggalnya itu hanya berjarak 8 km dari puncak merapi sehingga masuk dalam kategori Kawasan Rawan Bencana (KRB) III. Dengan membonceng sepeda motor tetangganya ia nekat pulang kampung karena khawatir dengan kondisi kesehatan ternaknya yang sudah beberapa hari tak diberi pakan. Bagi para petani aktivitas di desa bukan semata-mata sarana mencari penghasilan sebagaimananya manusia kota. Mencangkul, menyiangi padi, dan menyabit rumput untuk ternak adalah separuh jiwa mereka, sebuah kegiatan yang sudah manunggal dengan pribadi-pribadi mereka. Kini seluruh kegiatan itu tiba-tiba hilang dari dirinya.
Rasa kehilangan mereka pada ternak dan sawahnya mungkin jauh lebih mengakar melebihi rasa kehilangan Anang terhadap Krisdayanti. Dan itulah yang menjadi penyebab penampungan para pengungsi kian hari makin berkurang penghuninya. Tercatat di wilayah Klaten sejak kemarin para pengungsi berangsur-angsur meninggalakan barak pengungsian mereka. Sebagaimana disampaikan oleh koordinator lapangan dan penanggung jawab Posko Induk Penanggulangan Bencana Merapi Kabupaten Klaten, Joko Roekminto, sejak kemarin sekitar enam ribu jiwa telah meninggalkan pengungsian. Jika sebelumnya jumlah pengungsi mencapai angka 113 ribu jiwa, saat ini yang tertinggal di barak pengungsian tinggal 107.079 jiwa saja.
Mampukah program trauma healing mengurai kerinduan para pengungsi terhadap kampung halamannya sehingga mereka jauh lebih memikirkan keselamatan dirinya dari pada memikirkan keselamatan sawah, ladang, dan ternaknya? Kita tunggu saja hasilnya karena program yang dicanangkan pemerintah ini, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan Linda Amalia Agum Gumelar,  baru dimulai  Senin 15 November 2010.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H