Mohon tunggu...
Yayan Sugiana
Yayan Sugiana Mohon Tunggu... TNI AL -

Suami dari seorang istri dan bapak dari tiga orang anak yang berkeinginan besar dapat memberi manfaat kepada lingkungan tempatnya berada.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Wakatobi Dipandang Enteng, Jangan!

26 September 2010   03:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:58 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_269780" align="alignleft" width="231" caption="richardbrickman.com"][/caption] Untuk yang ketiga kalinya, kembali Pemerintah Kota Bau Bau menyelenggarakan Festival Perairan Pulau Makassar (FPPM). Salah satu agenda yang digelar pada even tahunan tersebut adalah lomba perahu naga.Festivalnya itu sendiri berlangsung dari tanggal 18-21 Juli 2010 dengan muatan acara yang mengusung tradisi budaya setempat. Undangan yang saya terima dari pihak panitia penyelenggara lomba perahu naga sungguh berdekatan dengan tanggal pertandingan. Namun begitu mendapat bocoran informasi bahwa peserta dari luar Sulawesi Tenggara hanya team perahu naga asuhan saya, detak jantung ini menjadi sedikit tenang. Saya percaya 90% bahwa team dayung asuhan saya dapat membawa pulang trhopy Menteri Kebudayaan beserta hadiah utama berupa uang empat puluh juta rupiah. Di seantero kota Makassar, bahkan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, rasanya tak ada team perahu naga yang bisa mengalahkan kami. Waktu berjalan dengan cepatnya. Tibalah saatnya kami berangkat menuju medan pertandingan yang sebenarnya. Anggota team saya bakar dengan teriakan-teriakan yell penggugah semangat. Mata mereka menyala, memancarkan sinar gairah untuk melumat setiap lawan yang kelak dihadapi. Berhubung kapal Pelni yang biasa melayani route Makassar-Bau Bau sedang menjalani perbaikan besar, dengan terpaksa kami harus berganti moda. Berangkat terguncang-terguncang di atas truk UNIMOG, melintasi jalan terbentang antara Kabupaten Maros menuju Bone yang berliku-liku seperti roller coster menuju Pelabuahan Bajoe. Dari Pelabuhan Bajoe berganti moda lagi. Kali ini kami bertolak menuju Kolaka dengan menggunakan ferry. Tiba pukul tiga dini hari di Kabupaten Kolaka. Selanjutnya, dengan menggunakan bus carteran kami beriringan dengan Kota Kendari sebagai tujuan. Setelah istirahat sejenak di Pelabuahan Kendari, kami melanjutkan perjalanan dengan kapal cepat yang biasa melayani route Kendari – Bau Bau. Tiga puluh jam kami lewatkan dalam perjalanan panjang. Satu anggota team terpaksa kami titipkan di Pangkalan Angkatan Laut Kendari karena sudah tidak sanggup meneruskan perjalanan. Dan setelah sempat singgah sebentar di Raha, kapal cepat itu tiba di Pelabuhan Bau Bau. Dengan segala keramahtamahannya pihak panitia menerima kedatangan kami. Mereka kemudian mengantar kami ke penginapan. Malamnya perwakilan official setiap team berkumpuldi Posal Bau Bau untuk mengikuti technical meeting. Sedikit ketegangan mewarnai pertemuan teknik tersebut. Di dalam undangan yang kami terima, jarak yang ditempuh dalam lomba hanya empat ratus meter, sedangkan panitia menyampaikan bahwa jarak yang terbentang antara garis start menuju garis finish adalah seribu meter. Setelah baku negosiasi sedikit, akhirnya paniatia sampai pada keputusan bahwa jarak yang ditempuh pada perlombaan tersebut diturunkan menjadi 750 m. Malam itu seluruh perwakilan official secara aklamasi menyatakan setuju dengan keputusan panitia. [caption id="attachment_269781" align="alignright" width="263" caption="Peta Kab Wakatobi, Sumber: Google"][/caption] Keesokan harinya, setelah melakukan sedikit pemanasan denga jogging menuju Benteng Keraton Buton, kami mencoba perahu yang telah disiapkan oleh panitia. Dibandingkan dengan yang biasa kami gunakan latihan, perahu naga yang disiapkan panitia ini relatif lebih ringan. Rasa percaya diri kami makin menjadi-jadi. Lebih-lebih ketika melihat tampilan fisikpara pedayung team lawan, terutama team dari Wakatobi, rasa percaya diri itu meningkat beberapa kali lipat. Penampilan mereka tampak kurang macho dibandingkan anaka asuh saya yang rata-rata berbadan tegap, gempal, tinggi-besar. Wakatobi menampilkan pedayung kurang berotot, bertubuh kecil,dengan tinggi badan rata-rata tidak lebih dari 160 cm. Kepala mereka senantiasa tertunduk menatap tanah saat berpapasan dengan team kami. Sorot matanya memancarkan rasa kurang percaya diri. Babak penyisihan kami lewati tanpa harus turun gelanggang. Team dayung perahu naga kami dikategorikan sebagai team unggulan sehingga harus melenggang tanpa melewati babak tersebut. Kami langsung berlomba di babak semifinal. Setelah mengisi perut dengan kasuami, kami pun berangkat menuju Pantai Wantiro, lokasi perlombaan. Para penonton sudah berderet sepanjang bibir pantai. Mereka berteriak mengelu-elukan team kesayangannya masing-masing. Karakter pantai yang curam memungkinkan para penonton dengan leluasa menyaksikan perlombaan dari atas. Lima perahu naga telah siap di garis start, masing-masing adalah team kami, team dayung Kabupaten Buton, Kabupaten Raha, Kota Bau Bau, dan Kabupaten Wakatobi. Apa yang terjadi? Begitu aba-aba start telah dikumandangkan, empat perahu naga melesat meninggalkan perahu naga kami. Meluncur cepat bak anak panah lepas dari busurnya. Entah kekuatan apa yang menggerakkan dayung-dayung mereka. Keempat perahu naga itu bergerak cepat seperti menggunakan motor tempel. Sementara itu, team kami bergerak lunglai bak pedati sarat muatan ditarik kerbau yang uzur. Dua dayung yang dipegang anggota team kami tiba-tiba patah tanpa diketahui penyebabnya. Praktis dari dua puluh pedayung yang ada, hanya delapan belas orang yang aktif mengayuh perahu naga. Ketika keempat team di depan telah sampai di garis finish, team kami masih harus menempuh jarak yang tersisa dengan sisa-sisa tenaga terakhir. [caption id="attachment_269785" align="alignleft" width="300" caption="Anak-anak Suku Bajo (Sumber: Kompasianer Nila)"][/caption] [caption id="attachment_269787" align="alignleft" width="300" caption="Hidup tak lepas dari laut (Sumber: Google)"][/caption]

Kini giliran saya yang berjalan menunduk di hadapan team Sulawesi Tenggara itu. Sesampai di base camp, iseng-iseng saya surfing di dunia maya. Ternyata, Wakatobi memang gudangnya para pedayung unggulan. Kabupaten yang dibangun dari pulau Wang-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko tersebut (kemudian diakronimkan menjadi Wakatobi) dihuni oleh suku Bajo. Mereka dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup matinya berada diatas lautan. Bahkan perkampungan merekapun dibangun jauh menjorok kearah lautan bebas, tempat mereka mencari penghidupan. Laut bagi mereka adalah satu-satunya tempat yang dapat diandalkan. Julukan bagi mereka sudah barang tentu sea nomads, karena pada mulanya mereka memang hidup terapung-apung diatas rumah perahu (bambangpriantono.multiply.com).

Soft skill dan hard skil mereka dalam bidang mendayung terbangun sejak mereka dilahirkan. Dari awal membuka hingga menutup mata, mereka hanya melihat hamparan lautan luas. Jadi, pantaslah bila Wakatobi menjadi gudang pedayung nasional. Menjelang Pekan Olah Raga Nasional (PON) berlangsung, konon tidak sedikit di antara mereka hijrah ke provinsi lain yang berminat mendulang emas dalam cabor perairan ini. Seorang tekong alias juru mudi salah satu team (namanya diminta untuk tidak dipublikasikan) yang sempat saya temui ber-KTP ganda. Di samping ber-KTP Wakatobi, ia pun memegang KTP satu kota di Sumatera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun