Mbah Maridjan memang telah lama pergi meniggalkan kita, akibat erupsi Merapi yang terjadi saat sore hari pada 26 Oktober 2010 lalu. Namun, kenangan akan sosoknya yang ramah, sederhana, dan suka menolong siapa saja akan selalu mengisi benak kita terhadapnya. Sosok Mbah Maridjan merupakan sosok pribadi orang desa yang masih bersih dari polusi kota dan banalitasnya selera zaman. Selama hidup, ia telah mengajari kitabagaimana seharusnya menjalani hidup yang selaras dengan alam, ia memperlalukan alam sebagai sesuatu yang hidup, sebagai sahabatnya yang harus dirawat dan dimengerti, bukan benda mati yang harus ditundukkan dan dieksploitasi sebagaiman orang-orang modern memperlakukakannya.
Pada saat Merapi mulai menampakkan entensitas aktifitasnya yang mulai meningkat, dan statusnya ditetapkan sebagai awas Merapi, seluruh warga di lereng Merapi dihimbau untuk mengungsi, termasuk sang juru kunci,sebagai antisipasi terhadap bahya letusan Merapi. Ia dengan santainya berujar “Merapi iku ora meletus, Merapi mung watuk-watuk ae”, (Merapi itu tidak meletus, ia hanya batuk-batuk saja), begitu katanya ketika diperingatkan bahwa letusan Merapi dapat terjadi sewaktu-waktu tanpadapat diduga-diduga. Bagi sosok sang akrab di sapa dengan nama Mbah Maridajn ini, beliau menolak keras bial Merapi dikatakan meletus, sebab baginya kata-kata itu terlalu kasar bagi gunung yang salaam ini telah banyak member manfaat dan berkah bagi warga disekitarnya.
Raden Ngabehi Surakso Hargo, nama itulah yang ia sandang kala mendapat amanah dari Hamengku Buwono IX untuk menjadi juru kunci Merapi mewarisi atau lebih tepatnya menggantikan tugas sang ayah yang sebelumnya juga sebagai juru kunci Merapi. Sosok lelaki sederhanayang menjalani seluruh kehidupannya di dusun Kinahrejo ini, dilahirkan pada 5 Februari 1927, terlahir dengan nama Maridjan.
Namun, ketika resmi diangkat abdi dalem pada tahuhn 1970-an, ia diberi gelar dan nama baru sebagai Mas Penewu Surakso Hargo. Jabatan yang dipangku Maridjan pada waktu itu adalah wakil juru kunci dengan pangakat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang saat itu menjabat sebagi juru kunci Gunung Merapi. Setelah ayahnya meninggal pada 3 Maret 1982, Mbah Maridjan menggantikan posisi ayahnyasebagai juru kunci Gunung Merapi dengan gelar Raden Ngabehi Surakso Hargo.
Sosok Religius yang Sederhana
Mbah Maridjan, begitu senantiasa masyarakat disekitar memanggil namanya, bukanlah sosok penuh misteri, bukan tokoh klenik, bukan pula seperti yang banyak diberitakan di media massa tentang kesaktian dan ilmu-ilmu aneh yang dimilikinya. Ia adalah orang yang shalih, taat beribadah dan senantiasa merasa dekat dengan Tuhannya. Begitu juga dengan keluarganya, istri dan lima anaknya adalah orang-orang shalih. Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa Mbah Maridjan juga merupakan wakil ketua ranting NU kecamatan Cangkringan.
Masyarakat dan orang-orang yang pernah berinteraksi dengannnya, mengenalnya sebagai sosok yang kalem, santun, religius dan hidup dengan sederhana. Kesederhanaan itu semakin nampak jelas saat namanya sedang naik daun, ketika ia diontrak salah satu produsen minuman suplemen uuntuk menjadi bintang iklan, setelah erupsi Merapi 2006 melambungkan namanya, ia membagi-magikan uang penghasilannya kepada para warga di sekitarnya yang membutuhkan.
Menjelang erupsi Merapi 2006 mbah Maridjan diminta HB X untuk turun, namun beliau menolaknya. Sebab ia tidak mengakui keberadaan HB X sebagai raja, dalam pandanagnya, Sultan yang sekarang bunlah HB X, tetapi hany sekedar Gubernur Yogyakarta. Dengan tidak mengakui Sultan sebagai HB X Mbah Maridjan mempunyai pembenaran untuk menolak perintah turun.Banyak yang percaya bahwa penolakan ini sebagai pemabangkangan spiritual Mbah Maridjan terhadap Sultan, dalam pandangan Mbah Maridjan, Sultan tidak seperti sosok ayahnya, HB IX, baik dalam hal kharisma, tindak-tanduk politiknya, pengayoman, dan kedekatannya dengan kawula alit.
Apa yang dilakukannya dengan menolak perintah Sultan sama sekali jauh dari tendensi politik dan kepentingan sesat, apalagi hanyademi sekedar popularitas.Pembangkangan Mbah Maridjan bisa dimaknai sebagai upaya refleksinya terhadap Kraton Ngayogyokarto yang sangat dicintai dan dhormatinya. Setelah akis membangkangnya tersbut ia mendapat julukan baru sebagai Sang Pemabangkang dari Utara.
Satrio Pilih Tanding