Oleh: Yahya Ado*
RANDY (32) terpaku di teras depan sebuah kantor negara penegak hukum. Matahari cukup terik walau langit terlihat agak mendung. Sesekali Randy menegok ke ruang petugas yang sedang mencek lembaran dokumen untuk ditandatangani. Di laci meja yang entah secara segaja dibuka oleh petugas itu, terlihat jelas beberapa lembar uang yang dimasukan secara kasak kusuk oleh beberapa pengunjung.
Pikiran Randy menerawang jauh. "Mungkin ini bagian dari tugas dan abdi negara versi orang Indonesia. Ataukah memang uang pelicin sudah menjadi budaya untuk memperlancar segala urusan", desah Randy panjang.
Sesaat Randy yang hari-hari sebagai pekerja sosial terhentak kaget oleh bising knalpot yang menderu keras dari berbagai jenis kendaraan roda dua maupun empat. Teriakan petugas dan pengunjung pun sering kali membuat riuh suasana kantor. Layaknya pasar tempat jual beli. Negeri ini dibuat malang. Para petugas yang sudah digaji rakyat, masih saja mengharap uang kaget untuk mempermudah segala urusan. Sialan.
Satu jam lebih Randy menunggu giliran untuk dipanggil. Sementara banyak pengunjung lainnya terlihat leluasa bergerak keluar masuk dengan sangat bebas. Seraya mengocek saku celana untuk mengeluarkan beberapa lembaran rupiah yang beragam warna dan angka sebagai uang pelicin.
Akhirnya berkas Randy diserahkan oleh salah seorang pegawai honorer kepada Randy tepat pukul 12.32 setelah ditanda tangani oleh pimpinan. Pikir Randy, mungkin sudah selesai urusan karena berkas sudah ada di tangannya. Namun malang nasib Randy, pegawai kecil itu lalu berkata, "bapak bayar lima puluh ribu rupiah ya".
Wajah Randy terlihat kaget. Dalam benak Randy berbisik, kenapa kantor ini seperti penjual mie goreng jalanan, makan kenyang baru bayar?. Harusnya mekanisme pembayaran diatur dengan sistem yang transparan, sehingga pembayaran ini jelas peruntukannya dan bisa dipertanggungjawabkan.
Randy bertanya pelan, "apakah ada bukti pembayaran yang boleh saya terima sebagai pertanggungjawaban pak?". Dengan tegas dan suara agak meninggi, si petugas itu menjawab, "bapak silahkan beli kuitansi di luar sana dan tulis jumlah pembayaran. Nanti kami stempel di sini".
Wah, Randy bertambah bingung. Cara pembayaran yang aneh. Randy menarik napas panjang. "Ini mustahil. Ini hal gila". Hati Randy meronta. Randy mengulang pertanyaan yang sama dengan agak keras. Tapi dasar petugas ini buta hati dan bukan buta huruf, jadi tidak mau mengerti apa yang diharapkan Randy untuk membuat transaksi pembayaran yang sah dan benar.
Randy mencari akal. Daripada harus keluar mencari kuitansi, Ia langsung saja merobek bagian kosong lembaran foto copy kartu tanda penduduk (KTP) untuk menulis maksud dan jumlah pembayaran. Kemudian meminta petugas itu tulis nama, tanda tangan dan stempel.
Dengan ragu-ragu petugas itu membubuhi stempel, tanda tangan dan tulis namanya. Walau Randy yakin nama ini bukan nama sebenarnya sang petugas yang tak bermoral ini. Sayang, di dada kirinya tak ada papan nama, karena ia hanyalah pegawai honorer, jadi tidak bisa dipastikan siapa nama sesungguhnya.