“Kamu tidak boleh melanjutkan kuliah. Bapak dan mama tidak punya biaya untuk kamu kuliah. Kamu harus membantu kami untuk cari uang. Kamu bisa kerja kebun atau buat sarung untuk menghasilkan uang. Biarkan adik laki-laki yang akan melanjutkan kuliah setelah taman nanti”
Nurmilah (bukan nama sebenarnya), usianya berkisar 21 tahun. Ia telah menyelesaikan pendidikan di sebuah sekolah islam MA (Madrasah Aliyah) di kampungnya dua tahun silam. Wajahnya seketika memerah saat mendengar pernyataan bapaknya.
Hari itu seakan pupus segala cita-cita Mila. Begitu panggilan akrab gadis ini di desanya. Mila yang tergolong anak cerdas di sekolahnya mempunyai cita-cita mulia. Mila ingin menjadi seorang ibu guru. Mila bermimpi untuk bisa mendidik anak-anak di kampung dimana ia dilahirkan dan dibesarkan.
Terbayang akan masa sulit yang dialami keluarga setiap hari, Mila tak memiliki daya untuk menantang apa kata bapak. Ia tahu persis betapa sukar menjalani hidup di setiap bergantinya hari. Ibarat gali lubang tutup lubang, begitu yang kerap dilakukan oleh ibu Mila untuk menghidupi keluarga yang ia cintai.
Di nadi Mila selalu bergetar ingin merubah hidup mereka. “Aku harus bisa berbuat sesuatu untuk keluarga dan kampungku”. Begitu Mila bertekad dalam hati.
Di satu malam Mila berpikir untuk untuk pergi dari rumah dan kampungnya. Ia mencari jalan untuk bisa mendapat uang. Tidak salah ia lalu memutuskan untuk pergi merantau ke negeri jiran Malaysia.
Mila pergi secara sembunyi-sembunyi. Tiada pesan yang terucap kepada siapapun di rumah itu. Karena ia yakin tidak ada yang boleh mengizinkan ia pergi. Hanya sebuah surat cinta tersimpan di lemari kayu tanpa pintu, yang hanya tertutup oleh kain putih yang kian hitam terkena debu.
Mila menuliskan goresan hati buat keluarga yang hendak ia tinggalkan.
“
Mama, bapa dan adik-adikku ,
Dengan kasih kupeluk cintamu
Dengan rindu kubelai sayangmu
Hari ini Mila ingin pamit dari rumah untuk sementara
Pergi mengikuti jejek hati yang baru terlintas
Walau jalan ini ada duka, tapi Mila tetap ingin mencobanya
Sejauh jiwaku masih terbungkus oleh petunjuk Tuhan
Maka yakinkan Mila pasti kembali bersama mama dan bapa
Berkumpul bersama adik-adik, pulang ke kampung kumuh ini
Doa tulus dari mama, bapa dan adik-adik selalu Mila nantikan..
Selamat tinggal
Anakmu,
Mila
“
Dan Mila pun pergi bersama cita-cita yang masih menghujam di batin. Menjadi guru kini hanya mimpi pada angan. Harapan memang tidak selalu sama dengan realitas. Lantas itulah pilihan hidup berikutnya bagi Mila. Sebuah perjuagan demi materi (baca: uang), karena hidup memang butuh biaya.
Luka Mila belum berakhir di sudut ini. Ayat-ayat Duka pun masih terngiang di telinga Mila. Masih panjang jalan liku yang harus dilaluinya. Menentang ombak hidup yang kian ganas. Merintis jalan duka yang penuh duri. Tapi Mila masih yakin, “Dibalik kesulitan selalu ada kemudahan”. Karena ia sadar akan janji Tuhan, “jika satu pintu tertutup maka pintu lain akan terbuka”. **
Oleh, Yahya Ado
Jakarta, 8 Mei 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H