ERA baru digitalisasi dan revolusi industri terus menunjukan taring. Belakangan orang sudah lebih banyak memilih hal instan yang cepat, daripada tradisional manual yang dinilai lamban, dan bahkan dianggap kolot. Manusia kini dipicu berpikir lebih tergesa-gesa, bertindak lebih tergesa-gesa. Dunia begitu masif berubah dengan secepat kilat.Â
Dengan ponsel pintar di tangan, orang bisa melakukan transaksi banyak hal tanpa harus mengunjungi atau bahkan bertemu langsung. Bisa irit di waktu, hemat di tenaga, dan tidak boros di uang. Dunia kini benar-benar berada dalam gengaman.
Sayangnya, banyak dari penduduk kita di Indonesia belum sepenuhnya sadar dampak paling sadis di era ini. Dunia kini, pemilik modal sudah lebih suka mempekerjakan robot dari pada manusia. Tentu akan membuat koorporasi lebih untung. Tidak perlu program pengembangan terlalu banyak. Karena robot hanya butuh peremajaan saja dalam waktu tertentu. Tak digaji pula.Â
Hal yang sama, kini mulai dipikir banyak birokrasi negara. Pemerintah mulai berpikir birokrasi yang lebih sederhana dan tidak boros. Perangkat negara mulai dipangkas untuk jalur birokrasi lebih pendek dan kaya fungsi. Banyak perjalanan dinas (sudah) dipotong untuk memilih komunikasi melalui jalur virtual.Â
Covid-19 vs Birokrasi Pemerintah
Covid-19 seperti menjadi pelajaran birokrasi di dunia global. Pemerintah 'dipaksa' berpikir out of the box. Berpikir di luar kebiasaan. Bukan sekedar mengatasi pandemik yang makin darurat ini, tapi juga untuk antisipasi strategi perencanaan dan pembangunan ke depan. Bahwa kita tidak lagi berpikir manual, saat dunia sedang bergerak begitu pesat dengan era industri yang sangat modern. Sebelum tergilas, mari berbenah mulai saat ini.Â
Di Indonesia dalam konteks ini, bahkan NTT (Nusa Tenggara Timur) secara khusus. Meski masih menyandang propinsi termiskin dan terbelakang ketiga di Indonesia, kita sedang berusaha berubah. Berubah mulai dari bagaimana merencanakan program strategis dengan cara baru. Meski bagi banyak orang dan instansi bukanlah hal baru.
Dalam minggu ini misalnya, saya diundang ikut diskusi di dua moment berharga melalui virtual meeting di NTT. Pertama, secara khusus diundang mengikuti untuk Musrenbang RKPD (Musyawarah Pembangunan Rencana Kerja Perangkat Daerah) Kabupaten Kupang tahun 2021, dan untuk Konsultasi Publik Ranwal RKPD (Rancangan Awal Rencana Kerja Perangkat Daerah) Propinsi NTT tahun 2021.Â
Saya lihat, ini salah dua bentuk perubahan yang harus segera disadari sebagai sebuah kemajuan bernegara. Covid19 boleh jadi sebagai jembatan penggerak untuk kita mulai berpikir ulang, bagaimana semestinya berpikir dan berkarya di dunia saat ini. Kita bisa berada di mana-mana, dengan bantuan digitalisasi kita terhubung dan diskusi banyak hal. Kita mengirit begitu banyak uang yang bisa terpakai untuk program yang jauh lebih dibutuhkan rakyat daripada sekedar berkumpul yang formalitas. Working from home (bekerja dari rumah) adalah juga working from heart (bekerja dari hati).Â
Saya tidak berbagi di sini soal konteks dan hasil diskusi. Tetapi saya ingin berbagi soal bagaimana kita mulai berpikir untuk sebuah perubahan yang maju. Karena kesadaran dasar perubahan itu menjadi sangat penting sebelum kita bahas isi pembicaraannya. Sebab proses tak pernah mengkhianati hasil.
Teori Perubahan
Dalam teori komunikasi perubahan, paling tidak ada tiga alasan pokok, kenapa sebuah komunitas atau masyarakat, atau bahkan sebuah dunia berubah.Â
Pertama, perubahan atas dasar pemaksaan (enforcement). Perubahan yang dipaksa karena sebuah kondisi tertentu. Sebuah kebijakan tertentu yang harus diikuti. Sehingga secara terpaksa kita harus berubah. Â