Penolakan Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) serta desakan agar Pemerintah serta Parlemen membuka proses penyusunan setransparan mungkin  menjadi bahasan yang masif akhir akhir ini.Â
Wacana yang berkembang adalah Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih menggunakan sistem kolonial, banyak menggunakan pasal karet, mengatur ranah privat, bahkan  berpotensi mengekang demokrasi dan inkonstitusional.
Draft RKUHP menjadi trending topic di masyarakat hingga sejumlah mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa penolakan karena proses penyusunannya dianggap tidak transparan.Â
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah diminta segera memastikan proses legislasi RKUHP berlangsung transparan dan partisipatif bagi masyarakat. Proses legislasi juga perlu membuka pembahasan secara lebih menyeluruh, tidak terbatas pada 16 isu krusial, untuk memastikan perlindungan Hak-hak Konstitusional Warga Negara.
Dalam naskah itu, ditemukan sejumlah Pasal yang akan berdampak pada kaum minoritas dan dapat mengekang kebebasan sipil. Berdasarkan 14 Pasal dalam RKUHP, mereka melarang aborsi kecuali dalam kondisi kesehatan tertentu atau jika hamil karena diperkosa.Â
Dalam Pasal lain di RKUHP juga berdampak ke kaum minoritas, seperti Pasal yang merujuk ke penistaan agama dan kritik dari Pemerintah yang elastis dan lentur. Pasal-pasal tersebut termasuk mengriminalisasi kebebasan ekspresi dan berpendapat, penghinaan terhadap kekuasaan publik dan lembaga negara, menggelar demonstrasi dan berdemonstrasi tanpa izin.Â
Kelompok yang lain menekankan Pemerintah harusnya menyesuaikan Undang Undang baru yang memiliki nilai-nilai keindonesiaan dari Undang Undang zaman kolonial.
RKUHP yang sedang disusun ini berpotensi membahayakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu Pasal yang berbahaya adalah Hukuman Mati, yang tampaknya tak akan dihapus meski ada kampanye dari Amnesty Internasional Indonesia sejak 1960.Â
Selain itu, muncul ketakutan soal pembatasan hak-hak perempuan. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia saat ini kembali seperti pada 1918 saat kolonialisme berlangsung. Seiring berjalannya waktu, naskah itu mengalami perubahan, menyusul Kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Berdasarkan pengalaman masa lalu, pro dan kontra RKUHP ini sempat membuat kondisi Indonesia memanas, bahkan disertai Aksi Unjuk Rasa di jalanan.Â
Isu ini dapat digunakan oleh kelompok kepentingan terutama menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 serta membuat kisruh bahwa Pemerintah mengerdilkan demokrasi serta membungkam kebebasan berpendapat. Diperlukan sikap dan pengelolaan yang baik dari pihak pemerintah agar perkembangan wacana tidak bergerak ke arah yang destruktif.
Diperlukan adanya penguatan literasi secara berkesinambungan mengenai latar belakang, fungsi serta manfaat RKUHP yang baru menggantikan KUHP buatan Belanda yang selama ini digunakan Indonesia.Â
Selanjutnya, masyarakat diharapkan untuk tidak terprovokasi oleh adanya aksi radikal maupun terhadap isu-isu provokatif yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H