Endemi Covid-19 di Indonesia menjadi salah satu bahasan di pemberitaan yang perlu mendapatkan perhatian akhir akhir ini. Hal ini tidak terlepas dari upaya para pemangku kepentingan dalam memaksimalkan penanganan Covid-19 mulai dari hulu hingga ke hilir yang sudah memunculkan hasil positif. Meskipun framing yang dimunculkan bahwa alih status menjadi endemi membutuhkan waktu dan syarat yang tidak mudah, wacana ini sudah memunculkan optimisme bahwa Indonesia mampu melalui krisis #pandemi Covid-19 dapat dilalui.
Transisi endemi merupakan suatu proses dimana periode dari pandemi menuju ke arah endemi dengan sejumlah indikator, antara lain laju penularan harus kurang dari 1, angka positivity rate harus kurang dari 5 %, kemudian tingkat perawatan Rumah Sakit harus kurang dari 5 %, angka fatality rate harus kurang dari 3 %, dan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berada pada transmisi lokal level tingkat 1. Kondisi -- kondisi ini harus terjadi dalam rentang waktu tertentu misalnya 6 bulan. Indikator maupun waktunya masih terus dibahas oleh Pemerintah bersama dengan para ahli untuk menentukan indikator yang terbaik untuk bisa mencapai ke arah kondisi endemi.
Juru Bicara (Jubir) Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan bahwa Penetapan status endemi merupakan otoritas Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Mengubah status pandemi Covid-19 yang berdampak pada banyak negara memerlukan perbaikan secara global. Umumnya, penetapan endemi dilakukan saat jumlah kasus positif dan kematian rendah. Istilah endemi digunakan untuk menggambarkan sebuah penyakit yang cenderung terkendali ditandai dengan jumlah kasus rendah secara konsisten.
Meskipun demikian Executive Director of the World Health Organization (WHO), Mike Ryan mengatakan bahwa dunia diharapkan untuk tetap berhati-hati dengan Covid-19, meskipun sudah ada tanda penurunan jumlah kasus. Perbedaan endemi dan pandemi adalah virus ada tapi lebih rendah, musiman dan tidak bisa hilang, ancaman masih tetap ada. Mengubah dari pandemi ke endemi hanya mengubah label. Perubahan tersebut tidak mengubah tantangan yang dihadapi, oleh karena itu program pengendalian yang kuat untuk mengurangi infeksi tetap perlu dilakukan negara-negara di dunia. Termasuk ke kelompok rentan dan menurunkan angka kematian.
Dalam transisi menuju endemi, indikator surveilans harus terus dilakukan. Surveilans adalah pengamatan terus menerus, disertai respons segera. Dari sisi lain, maka dapat juga diartikan bahwa surveilans merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya intelejensi kesehatan masyarakat, agar dapat dimonitor situasi penyakit yang ada serta dilakukan deteksi dini kalau ada awal peningkatan kasus, dan dilakukan respons segera agar situasi kesehatan segera terkendali dan tidak berkepanjangan. Tentunya persoalan protokol kesehatan harus terus dijaga meskipun nantinya Indonesia sudah masuk dalam fase endemi. Seperti yang sudah saya ulas pada Artikel sebelumnya bahwa kesadaran kolektif sangat dibutuhkan.
Keberhasilan Pemerintah menurunkan kasus harian Covid-19 di beberapa daerah dapat menjaga kepercayaan publik terhadap pengendalian Covid-19 dan mencegah narasi negatif kelompok kepentingan yang selama ini menilai negatif kemampuan Pemerintah dalam menekan laju penyebaran Covid-19. Dengan adanya wacana endemi, tentunya optimisme masyarakat terutama pada aspek ekonomi akan meningkat. Namun, penanggulangan secara ketat dan sinergis harus terus dilakukan, terlebih menjelang Ramadhan dan Idul Fitri yang lekat dengan mobilisasi masa dalam jumlah besar. Agenda besar di tahun 2022 tersebut harus dilewati dengan kondisi aman serta tidak memunculkan klaster klaster sebaran Covid yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H