Pasca runtuhnya era orde baru, Indonesia menawarkan konsep baru dalam berpolitik. Era reformasi mengusung asas yang boleh dibilang lebih terbuka dan lebih demokratis. Hal ini tentunya tidak lepas dari menguatnya globalisasi yang menerpa seluruh dunia. Seperti macan yang lepas dari kandangnya, Indonesia seperti terkena euforia kebebasan berpendapat dan berbicara.
Demokrasi dan globalisasi seperti dua mata uang, membawa dampak yang baik namun banyak juga dampak buruk yang ikut terbawa. Salah satunya adalah meluasnya konflik antara masyarakat, antar suku, hingga gerakan separatisme yang ingin memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apabila dilihat secara umum, persoalan perbedaan ras, suku, dan budaya menjadi akar permasalahan terjadinya konflik di beberapa daerah. Tragedi Sampit yang melibatkan pihak Suku Dayak dengan Suku Madura. Kemudian kerusuhan di Poso, perang antar suku di Papua, hingga gerakan separatis dari Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, hingga Organisasi Papua Merdeka. Hampir semua konflik yang terjadi disebabkan oleh perbedaan suku, agama, dan ras.
Politik identitas cukup kentara digaungkan melalui berbagai media saat ini. Indonesia yang memiliki basis sebagai negara majemuk, mau tidak mau menjadi sasaran empuk penyebaran politik identitas. Sehingga, harus ada komunikasi antar budaya untuk menyelesaikan akar permasalahan konflik antar budaya yang terjadi.
Ada satu keuntungan yang bisa dipetik dari gelombang globalisasi yang menyebabkan banyaknya konflik di berbagai daerah. Yaitu, pemahaman akan kesadaran multikultural. Perkembangan media massa yang begitu pesatnya mau tak mau akan menyebarkan budaya antar bangsa, banyak masyarakat monokultur yang berpindah menjadi multikultur.
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap hari di Indonesia terjadi hubungan antaretnik maupun antarras. Hubungan antaretnik terjadi ketika setiap kelompok etnik terlibat dalam pertukaran sosial, kerja sama, persaingan dan konflik, dan keterlibatan setiap kelompok etnis itu dibatasi oleh faktor status, peran, kelompok, jaringan interaksi, dan institusi sosial.
Ada beberapa teori yang bisa menjelaskan bagaimana sebuah hubungan antar etnik akan berkembang. Yang pertama adalah teori ekologi manusia, teori yang diperkenalkan oleh Suzan Olzak dari Darwinisme Sosial menekankan bahwa melalui gerak kompetisi, seleksi kelompok etnik dapat terjadi. Kompetisi menjadi pembeda dalam pengelompokan etnik-etnik di muka bumi.Â
Ketersediaan lingkungan merupakan faktor penentu ukuran relatif dari suatu subpopulasi penduduk yang disebut etnik, pola pola migrasi penduduk, serta variasi kebutuhan sosial. Tiga hal ini yang mendorong setiap kelompok etnik untuk bersaing mendapatkan lapangan hidup.
Konflik pada level antaretnik atau antar subetnik dapat meluas dari gerakan kelompok etnik ke arah segregasi etnik. Segregasi itu disesuaikan dengan tingkat ketersediaan lingkungan, yang pada gilirannya menempatkan posisi setiap etnik dalam status-status tertentu, misalnya status ekonomi.