Mohon tunggu...
yavis nuruzzaman
yavis nuruzzaman Mohon Tunggu... Freelancer - fotografer, pemusik, penulis lepas, pemerhati media sosial, penyuka sepak bola,

fotografer, pemusik, penulis lepas, pemerhati media sosial, penyuka sepak bola,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesadaran Bersama untuk Mengatasi Pandemi yang Tak Kunjung Usai

10 Februari 2022   09:26 Diperbarui: 10 Februari 2022   10:24 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelombang tiga Covid-19 sudah tiba di Indonesia. Varian Omicron yang ramai di luar negeri sudah ditransmisikan secara lokal di wilayah kita. Seperti gelombang kedua dulu yang diramaikan oleh varian delta, jumlah orang yang terpapar semakin mendekati circle kita. Untuk mengatasi penyebaran lebih lanjut, pemerintah kembali menaikkan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada beberapa wilayah di Indonesia.

Melalui Kementerian Dalam Negeri tanggal 9 Februari 2022, Pemerintah mengatur adanya perubahan jumlah daerah pada level 1 yang mengalami penurunan dari 40 daerah menjadi 30 daerah dan level 2 dari 86 daerah menjadi 57 daerah. Sementara itu, daerah yang berada pada level 3 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 2 daerah menjadi 41 daerah.

Peningkatan jumlah daerah yang berada pada level 3 tidak semata-mata karena meningkatnya jumlah kasus positif, tetapi juga karena faktor menurunnya tracing yang dilakukan dan mulai bertambahnya tingkat bed occupancy rate (BOR) rumah sakit.

Banyak pihak yang mendukung adanya peningkatan status PPKM tersebut. Kebijakan yang diambil terutama pada daerah dengan tingkat rotasi yang cukup tinggi seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) diharapkan dapat menurunkan tingginya angka kasus positif covid-19. Terlebih mayoritas penularan ada di kawasan pemukiman dan perumahan.

Tidak dipungkiri bahwa adanya sikap abai dari masyarakat atas pentingnya protokol kesehatan menjadi salah satu sebab banyaknya varian omicron di sekitar kita. Euforia penurunan level PPKM yang cukup signifikan di akhir tahun 2021 hingga awal 2022 mungkin menjadi salah satu sebabnya. Suasana bahwa pandemi covid-19 seolah olah akan berakhir diikuti dengan kegiatan perekonomian, perkantoran, dan transportasi yang sudah kembali normal. 

Lokasi wisata sudah banyak dikunjungi oleh pelancong, yang kerap terlihat tidak memakai masker dengan benar serta tidak mencuci tangan sebelum makan dan lain sebagainya. Bahkan pertemuan tatap muka di sekolah sudah berangsur angsur dimulai.

Tapi kenyataannya Indonesia tidak luput dari varian yang pertama kali merebak di Inggris dan Afrika ini. Tanpa menihilkan bagaimana upaya pencegahan serta karantina bagi pelancong yang baru pulang dari luar negeri, kenyataannya virus tersebut dibawa masuk dari mereka yang baru pulang dari negeri asing. Sekali lagi, sikap abai dan menganggap remeh menjadi salah satu sebab utama penyebaran varian ini.

Pernyataan-pernyataan menganggap remeh seperti virus omicron efeknya ringan dan tidak mematikan, virus ini hanya akan memunculkan gejala seperti flu saja, serta ucapan meremehkan lain tidak seharusnya dimunculkan di muka publik. Pernyataan tersebut seharusnya tidak keluar dari Key Opinion Leader atau bahkan wakil pemerintahan. Masyarakat yang sudah abai tentunya akan semakin meremehkan bahaya dari varian baru ini.

Salah satu hal yang perlu menjadi catatan adalah tidak semua orang memiliki tingkat imunitas yang sama. Imunitas seorang ayah yang sudah divaksin bahkan diberikan booster tidak akan sama dengan anaknya yang masih balita. Ketika ayahnya terpapar tanpa diketahui, sang ayah tidak akan merasakan gejala apa pun. Namun, efek yang berbeda akan terjadi pada sang anak. Efek flu dan pilek tidak akan dialami pada balita yang belum mendapatkan vaksin. 

Dampak yang dirasakan bisa menurunnya berat badan anak, sesak nafas, diare yang tidak berhenti, hingga kejang-kejang. Terlebih bagi anak yang memiliki komorbid seperti asma. Orang tua harus peduli dan empati terhadap kondisi anak. Orang tua harus terus memperhatikan gejala-gejala yang muncul.

Perlu diwaspadai juga keengganan masyarakat untuk melakukan pendeteksian secara cepat melalui swab antigen maupun swab polymerase chain reaction (PCR). Masih banyak masyarakat yang enggan melakukan swab karena takut dicovidkan.

Sikap abai harus dihindari, sikap aware harus dimulai dari rantai terkecil yaitu keluarga dan dikembangkan ke level kantor atau masyarakat sekitar. Saling mengingatkan untuk terus memakai masker menjaga kebersihan serta melakukan swab antigen maupun PCR apabila merasakan kondisi kurang enak badan harus terus dilakukan. Ketika kesadaran bersama terbentuk rasa aman dan nyaman dalam berkumpul dan bermasyarakat tentu dapat terjalin.

Kita sudah lelah menghadapi pandemi yang tidak kunjung usai, sudah dua tahun permasalahan ini tidak kunjung usai, perekonomian juga menjadi salah satu hal yang terdampak. Perburukkan ekonomi ini bahkan menyasar hingga rakyat kecil. 

Oleh karena itu, untuk mengatasi pandemi ini, kesadaran kolektif sangat dibutuhkan. Terlebih peningkatan kasus ini diperkirakan akan memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya pulih. 

Lebih jauh lagi, hal tersebut akan menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan di masyarakat menyusul narasi yang dikembangkan terkait kondisi Indonesia di tengah penularan Omicron.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun