Ana mencoba berdandan sejelek mungkin. Riasan tebal yang terkesan menor, rambut yang sengaja diikat dengan karet bekas pengikat nasi bungkus, dan pakaian longgar yang benar-benar menyempurnakan penampilan buruknya. Dia tertawa melihat dirinya di depan cermin. Mencubit tangan. Masih terasa sakit. Berarti masih sadar dan sehat. Sahabatnya yang turut mendandani terpingkal-pingkal.
"Ana, lebih cantik ondel-ondel dibanding kamu, hahaha."
"Biar kaget tuh orang. Semoga nanti segera beranjak dari sini, dan selamanya tidak akan menggangguku."
Terdengar pintu diketuk. Pasti dia. Ana meminta temannya untuk segera masuk ke kamar. Lalu dibukanya pintu, mempersilahkan tamu itu masuk dan duduk di ruang tamu.
"Ana, kamu cantik sekali," katanya sambil memandang tak berkedip.
Ya ampun, orang ini pasti jidatnya panas, setengah sadar dan melihat dengan tatapan kabur, sehingga tak sanggup melihat kejelekanku. Ana hanya membatin.
"Sekarang kita sudah bertemu, apa yang kamu inginkan? Kamu tahu, aku sudah menikah, mengapa masih mengejar juga?" kata Ana ketus.
"Maafkan aku telah lancang mencintaimu. Sejak kamu tinggal di perumahan ini, aku sering memperhatikanmu. Saat pertama kali kamu mengenalkan diri sebagai tetangga baru waktu itu, entah mengapa hatiku berdebar-debar. Timbul rasa suka yang tak mampu aku tepis. Seperti orang yang jatuh cinta. Aku sering menangis sendiri, menyesak didada, menyadari telah mencintai orang yang salah."
"Aku bisa saja bercerita dengan suamiku, tetapi sengaja kuberdiam, karena aku tak ingin membuatnya resah. Jadi aku mohon, jangan mengganggu lagi dengan telepon dan jangan mengirimkan hadiah macan-macam. Aku lelah harus berbohong dengan suamiku telah membeli barang-barang yang tidak penting seperti yang telah kamu kirimkan. Sebentar lagi suamiku pulang, daripada terjadi keributan, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."
"Baiklah, aku akan segera pergi dari sini. Aku lega telah mengatakan isi hatiku. Aku tak akan lagi menelepon ataupun mengganggu, tapi tak akan berhenti mengirimkan hadiah," katanya sambil beranjak pergi.
Ana terdiam, sebenarnya merasa sangat kasihan melihatnya. Ah, mengapa juga memikirkan orang lain. Ana menutup pintu, dan temannya keluar kamar sambil cekikikan.