"Saya serius ingin menjadikan kamu istriku. Maka dari itu, saya datang untuk melamar dengan cara yang benar kepada Om kamu."
"Tapi Bapak tidak pernah bertanya, apakah saya mau menerima atau tidak!"
"Buktinya kamu tidak menolak, kan?"
Utari menghentakkan kakinya dengan kesal, "Bagaimana saya bisa menolak, kalau semua orang tidak mau menerima kata tidak!"
Bagus berjalan mendekat, hingga bau harum dari parfum pria itu menggoda indra Utari. Gadis itu masih bergeming, tidak mau bergerak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Bagus Pandhita mengulurkan salah satu tangan, hingga Utari mendongakkan kepala. Pria itu begitu jangkung, hingga Utari meyadari jika tingginya hanya sebatas dada pria itu.
"Kamu tidak percaya kepadaku?" Bagus menatap Utari yang masih belum juga menerima uluran tangannya.
"Bagaimana saya bisa percaya, jika semua demikian cepat menghantam hidupku yang semula tenang dan damai?"
Pria itu mengurai tangan Utari, dan membawa tangan kiri yang berisi cincin pertunangan bertaut dengan tangannya. Cincin emas dengan hiasan permata sebesar biji kelengkeng itu berkilau diterpa sinar lampu. Cincin itu terlihat indah dan mengagumkan di jari lentik Utari.
"Mungkin ini terlalu cepat, bahkan bagiku juga. Aku tidak pernah berpikir akan menikahi seorang gadis belia sepertimu. Aku bahkan sempat berharap, wanita seperti Puspa Ayu saja yang akan mendampingi hidupku."
"Kalau begitu, kenapa tidak dia saja?" Utari tiba-tiba merasa sangat kesal. Dia mencoba melepaskan tangannya, namun Bagus Pandhita memegang dengan erat.
"Karena bukan dia yang memasuki taman bungaku, melainkan gadis menawan serupa kupu-kupu yang tampak begitu polos."