"Jadi, pernikahan kita hanya beda satu minggu, ya Mbak. Aku nggak nyangka loh, kalo kita nikahnya bakal barengan."
Utari memaksa sebuah senyum tersungging di bibirnya. Dia melirik sebal pada pria tampan berbaju batik yang berdiri di sampingnya. Seharusnya ini hanyalah pesta pertunangan Dian, bukan pertunangan dirinya juga.
Namun siapa sangka, jika Aryo adalah keponakan Bagus Pandhita. Dengan semua koneksi yang dimiliki, mudah saja bagi pria itu untuk menyelidiki latar belakang keluarga Utari. Pria itu sangat tahu, jika Om Baskoro adalah satu-satunya wali bagi Utari setelah ayahnya meninggal.
Bagus datang dengan membawa seluruh keluarga besar Rekshananta. Selain untuk melamar Dian, mereka juga datang untuk melamar Utari. Baskoro sudah tahu mengenai rencana itu, namun merahasiakannya kepada Rika. Katanya dia ingin membuat kejutan untuk keluarga, selain alasan agar Utari tidak bisa menampik.
Gadis itu memang tidak bisa menolak. Selain akan mempermalukan keluarga, dia tidak tega dengan kebahagiaan yang terpancar pada wajah sang Mama. Sejak awal, perasaannya memang sudah tidak enak. Terlebih ketika tiba-tiba Bagus Pandhita menghubunginya.
Utari sangat terkejut ketika mendapati jika Bagus Pandhita berada di tengah rombongan tamu. Dia bahkan serasa hampir pingsan, ketika lamaran itu kemudian ditujukan kepadanya.
"Kita harus bicara!" kata Utari ketika para tamu sudah sibuk dengan hidangan yang disediakan.
"Baiklah, di sini?" tanya Bagus Pandhita kalem.
"Tidak, ikut aku!"
Pria itu tersenyum ketika tanpa sadar Utari sudah menanggalkan sikap resminya. Bagus Pandhita mengikuti langkah kaki gadis itu, melewati teras samping hingga tiba di pinggir kolam renang belakang rumah.
"Sebenarnya apa maksud dari semua ini, Pak? Saya bisa gila dengan semua yang Bapak lakukan!" teriak Utari sambil bersedekap. Sepasang matanya yang menyala menatap garang pada sosok pria itu, yang masih berdiri dengan tenang.