Mencurahkan pikiran ternyata tidak semudah teori-teori di buku. Menyampaikan aspirasi memang tak selancar dan seindah rangkaian kalimat-kalimat Mario Teguh. Menulis memang tak mudah, ada kalanya ide-ide bermunculan tanpa diminta, kadang perlu perenungan khusus untuk mendapatkan bahan untuk dituliskan.
Ide-ide liar bersliweran di ruang-ruang kelabu otakku. Terkadang seakan-akan itu adalah gagasan yang gila dan ekstrim, sesuatu yang tabu dan sensitif bagi pemikiran waras. Sebuah pemikiran yang tidak lazim untuk dipikirkan dalam kerangka ilmiah. Tak kalah banyak juga pemikiran-pemikiran waras yang tajam dan menusuk atas bingkai realita yang pedih dan perih untuk diulas, kritik-kritik yang tajam sebagai respon realita sosial yang cacat dan timpang di masyarakat.
Sayangnya tak semua ide-ideku itu bisa dituliskan sebagai luapan curahan pemikiran. Ada batas-batas semu yang invisible yang membingkai seakan sebagai dinding-dinding yang menahan dan membatasi pemikiran yang akan dicurahkan. Dinding-dinding yang akan menjepit erat jika batas-batasnya disinggung. Ada sirine tak terlihat yang akan mendengung dengan nyaring memekakkan nurani. Terali-terali etika, moralitas, toleransi, dan masih banyak lagi memenjarakan ide-ideku hingga tak bisa terbang bebas menembus batas cakrawala dunia nyata maupun maya.
Ketika ideku terpenjara apa yang bisa kulakukan? Aku akan terus menulis mencurahkan ideku, dan kubiarkan ide-ide yang tak lulus sensor mengembara di alam pemikiranku sambil menghaluskan dan mengkamuflasekannya dalam ukuran partikel-partikel yang bisa menembus penjara itu. Ideku terpenjara, tapi kreativitasku masih bebas lepas. Kreativitasku yang akan melepaskan cengkeraman terali penjara. Teruslah mengalir hai ide-ideku, penjara ini takkan mampu memerangkapmu selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H