Mohon tunggu...
Dimas Setiawan
Dimas Setiawan Mohon Tunggu... -

Lahir di Ranah DeliSerdang Nan Asri dgn Kebun Tembakaunya ,Bertepatan Hari Sumpah Pemuda 1978, Masa SD-SMA dihabiskan tuk bermain & Bergelut dgn nasib kaum buruh perkebunan. Pertengangan tahun 1996 menginjakkan kaki di Bogor hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Money

Salah Satu Arti Ekonomi Kerakyatan

14 Juli 2010   12:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:52 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Jika para pejabat dan penggelut akademisi lebih memilih menyerahkan konsesi areal hutan layak HPH, HTI atau Perkebunan kepada "para Cukong", tidak kepada para petani dengan koperasinya. Tentunya visi ini lebih tepat bukan "Meningkatkan Pembangunan Ekonomi dengan Membuka Lapangan Pekerjaan", melainkan: "Yang Kaya Makin Kaya, yang Miskin Makin Miskin". Pengejawantahan dari penganut Kakapisme: "Melahap segala bentuk aset bagi hajat hidup rakyat demi tetap menjaga eksistensi diri".

Hitung-hitungan sederhananya seperti ini:
Jika 20.000 Ha areal efektif tertanam untuk Sawit, konsesinya dikelola penuh oleh petani, rata-rata 5Ha/KK sudah ada 4.000 KK. Dengan 5 Ha mereka sudah hidup layak ditambah memiliki aset sebagai Hak milik tanah kebun 5 Ha.
Net Benefit yang diterima petani = (15% x Rp 6.500/Kg CPO x 20% x 24.000 Kg TBS/Ha/Tahun x 5 Ha) : 12 bulan = Rp. 1,9 juta/bulan.
Jika menjadi buruh kebun bagi Perusahaan Pemegang Konsesi, gaji mereka kurang dari Rp.1 juta/bulan, tanpa memiliki aset pula.
So...beranikah para pejabat dan penggelut akademisi melawan "Para Cukong????".

Pertanyaan klise yang dibangun oleh para penentang: "darimana sumber modal untuk membangun perkebunan kelapa sawit itu?. Pemerintah Daerah tidak cukup punya anggaran untuk mendanai pembangunannya?.
Kira-kira gambaran kasarnya, biaya investasi membangun perkebunan kelapa sawit hingga siap panen (selama 3 tahun) ditambah 1 unit PKS sekira Rp.60 juta/Ha. Jadi untuk membangun 20.000 Ha dibutuhkan dana investasi sekira Rp 1,2 Triliun.

Memang tidak bisa dipungkiri untuk peroleh dana sebesar Rp 1,2 Triliun, butuh merangkul para pemilik modal. Akan tetapi bukan berarti menyerahkan Hak Konsesi sepenuhnya kepada "Para Cukong". Disini seharusnya peran pemerintah (sebagai Regulator) harus kuat. Contohlah apa yang dilakukan M.Yunus secara konkret mampu mendistribusikan kepemilikan aset dan modal bagi rakyat tak mampu hingga mereka menjadi berdaya secara ekonomi.

Hukum ekonomi yang nyata tak bisa dipungkiri untuk mengukur kontribusi kegiatan ekonomi memberi kesejahteraan rakyat adalah "Efek Multiplier". Efek ini akan terlihat signifikan jika ekonomi digerakkan pondasinya oleh sektor primer dan pelakunya bukan tunggal. Saya rasa secara gamblang hal ini dapat dibuktikan meskipun secara a priori bahwa jika 20.000 Ha areal layak perkebunan sawit, konsesinya diberikan kepada petani (ada 4.000 KK) akan memberi efek multiplier lebih tinggi ketimbang diberikan kepada satu Cukong atau satu konsorsium pemilik modal.

Semoga Kemisikanan di Indonesia teratasi secara konkret.
"Kemiskinan di Indonesia terjadi lebih utamanya karena Kemiskinan Struktural, yaitu Kemiskinan yang memang sengaja diciptakan oleh para penguasa (bisa oleh pemerintah, bisa oleh pejabat, bisa juga oleh para pemilik modal)".

Ditulis Ditengah Rintik Hujan, Jumat Kliwon, 13 Nopember 2009
(Dimas "Wong Yathir" BS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun