Ken Arok sebagai anak yang terlahir dari rahim proletar menggerakkan revolusi gulingkan Tunggul Ametung ”Sang Penguasa Feodal Tumapel”. Ken Arok, secara mitos dianggap anak titisan dewa, mampu membangun Dinasti Singosari di atas kaki proletariat. Namun pada perkembangannya, Ken Arok “Sang Pejuang Proletariat” terpaksa bertekuk lutut dalam rengkuhan tarian-eksoktik Ken Dedes yang Bangsawan. Singosari merupakan cikal bakal garis “Trah” Dinasti Majapahit. Sudah menjadi garis kodratnya, Singosari adalah starting point menuju Dinasti Majapahit yang megah.
Joko Tingkir “Si Tukang Rumput” kudanya Penguasa Demak, Sultan Trenggono, dengan kemampuan propagandanya mampu membakar revolusi menggulingkan para bangsawan yang sibuk bertikai pada saat itu. Joko Tingkir, meski masih ada trah bangsawan, tapi dianggap “kaum pinggiran”. Joko Tingkir, yang bergelar Sultan Hadiwijaya, mampu membangun Dinasti Pajang dari keringat proletar. Namun, nasib berkata lain, karena tidak punya trah langsung dari Mataram, yang diyakini sebagai trah penguasa sah di tanah Jawa, Joko Tingkir tidak mampu mempertahankan dinasti Pajang. Joko Tingkir ambruk di tangan Sutowijoyo “Penambahan Senopati”. Joko Tingkir digulingkan oleh orang yang ia hadiahi sendiri sebidang tanah perdikan. Kemampuan Sutowijoyo menggulingkan Joko Tingkir, karena keberhasilannya mempropaganda rakyat proletar bahwa dialah yang sejatinya sebagai pewaris sah trah Mataram, pengusasa sah di tanah Jawa. Sudah menjadi garis kodratnya, Pajang adalah starting point menuju Dinasti Mataram Episode II yang megah.
Diponegoro, sebagai simbol “Ratu Adil” adalah pengobar semangat perjuangan kaum proletar melawan penindasan Penguasa Kolonial Belanda. Personifikasi perjuangan melawan “kesewenangan kaum feodal”. Diponegoro, meski di dalam tubuhnya mengalir darah bangsawan, tapi dianggap “kelas nomer dua” karena terlahir dari rahim anak selir. Barangkali, jika Diponegoro bukan anak selir, “tidak ada yang namanya Republik Indonesia”. Sebab, Belanda sudah angkat kaki dari bumi jawa sebelum rampungkan “Pax Neerlandica”. Diponegoro kalah memperjuangkan revolusi proletariat dengan sosok “Ratu Adil-nya” karena harus menghadapi “Adik-nya sendiri yang Sultan Mataram, meski terlahir dari ibu yang berbeda”. Diponegoro tidak pernah kalah perang melawan Belanda. Diponegoro, “Sang Pejuang Proletariat ini” harus menyerah dengan kodratnya sendiri. Karena dia menyadari bukan terlahir dari Rahim Permaisuri Raja. Dia tidak ingin melawan kodrat garis hidupnya. Mengakhiri hidup di tanah pengasingan adalah pilihannya. Dia menyadari “tetesan darah trah Penguasa Sah di Tanah Jawa tidak ada di tubuhnya”. Sudah menjadi garis kodratnya, perjuangan revolusi Diponegoro adalah starting point menuju Revolusi Indonesia.
Sukarno, menjelmakan dirinya sebagai “Pemimpin Revolusi Kaum Proletariat” dengan “Semangat Marheinisme-nya” melawan kebiadaban penindasan Penguasa Kolonial Belanda. Keberhasilan Revolusi yang Dipimpin Sukarno, karena keberuntungannya berada pada ruang-waktu Revolusi Dunia. Apa jadinya bumi nusantara ini jika tidak ada “Revolusi Dunia dengan Konflik Perang Dunia-nya?” Apakah Belanda bisa serta merta angkat kaki dari bumi nusantara ini ?.
Sukarno yang awalnya berapi-api dengungkan revolusi menolak Penguasa Kolonial dengan Semangat Marheinisme, berhasil membakar ”semangat proletariat” melawan Sang Penindas. Tapi, di tengah perjalanannya, Sukarno ”mengambang, absurd” dengan semangat ”Revolusi Marheinisme”. Dia gamang menggapai arah semangat proletariatnya. Akhirnya, Sukarno hanya bisa terbuai dalam Tarian Para Bidadari Molek ”Penjilat Kekuasaan”. Sukarno hancur dimakan ”Semangat Revolusinya”. Sukarno adalah Anak Kandung yang terlahir dari ”Rahim Revolusi Proletariat Indonesia”. Sudah menjadi kodratnya, setiap Revolusi Proletariat akan memakan ”Anak Kandungnya sendiri”.
Ditulis 21 Mei 2009
Kumpulan "Derap Kaki Proletariat"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H