Jakarta malam ini terlalu sunyi. Barlian, seorang psikolog muda yang baru saja selesai menghadiri konferensi psikolog nasional. Langit Jakarta layaknya diorama perjalanan hidupnya pada malam itu. Sosok pemuda yang tak bisa dipisahkan dari kacamata dan aksen bicaranya yang khas nampak lain pada malam itu.
Ia termenung menghadap hamparan bintang dari balkon apartemennya, seakan ingin bercengkrama dengan penguasa semesta. Barli telah melakukan petualangan panjang untuk merumuskan jati dirinya. Setelah kehilangan kedua orangtuanya, tepat seminggu setelah ia disumpah menjadi seorang psikolog profesional.
Masa-masa kuliah adalah pertarungan sengit antara idealisme dan realitas hidup yang semakin absurd tiap harinya menurut Barli. Barli lahir dari keluarga sederhana, tapi ia tak pantang menyerah untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi manusia seutuhnya.
Ia aktif dalam kegiatan sosial, begitu gandrungnya ia akan permasalahan sosial politik nasional. Anehnya ia tak bercita-cita terjun dalam panggung politik praktis, forum-forum diskusi selalu ia hampiri untuk menambah wawasan.
Terkadang hidup memang terlalu retoris untuk mereka yang bergelut dalam bidang sosial. Kalangan akademis terlalu memisahkan diri dari masyarakat, ungkapan itulah yang selalu menjadi acuan Barli agar tidak terjebak dalam kesenjangan kelompok sosial.
Cinta merupakan barang langka yang Barli temukan, Barli terlalu sibuk bergumul dengan kegiatan sosialnya. Tapi semesta berkata lain, pada suatu waktu ada sosok wanita yang selalu menjadi dambaannya. Sean namanya, seorang dokter lulusan Jerman. Lintasan waktu memang begitu hampa rasanya. Jarak yang terbentang diantara mereka menjadi kendala nomer satu, seperti sejarah tembok Berlin yang memisahkan Jerman menjadi bagian barat dan timur.
Kelopak mata Barli perlahan tertutup, ia seakan sedang berada di lintasan waktu. menyambangi moment-moment yang tak terlupakan bersama sang pujaan hati.
Barli sering dianggap cupu oleh teman-temannya karna tak pernah berdekatan dengan wanita lain, padahal kesempatan amatlah banyak.
~
Jauh sebelum malam itu, Barli pernah dekat dengan Sean. Awal pertemuan mereka setelah tak bersua puluhan tahun, moment reuni teman-teman sd menjadi awal pertemuan mereka. Barli memberanikan diri untuk menjalin hubungan yang cukup intens dengan Sean.
"Kok bisa ya kita jadi dekat seperti ini" ujar Barli, Â sambil asyik menikmati sate. Ini adalah makan malam pertama mereka.
"sutradara diatas yang mengaturnya hehe.." Sean dengan senyum kecilnya mencoba memberi alasan.
Barli tidak begitu yakin akan takdir, menurutnya takdir hanya alasan bagi orang-orang lemah. Bukankah suatu fenomena terjadi karna hubungan sebab akibat?