Mereka saling menyakiti, tanpa sadar. Dan ketika akhirnya hubungan itu berakhir, Wira merasa lega sekaligus hampa.
"Kamu tahu, aku sering berpikir, kalau saja aku bisa lebih memahami kamu waktu itu..." Tari kembali membuka percakapan, suaranya mengambang di udara.
"Kita tidak bisa hidup dari 'kalau saja,' Tari." Wira menatapnya lagi, kali ini dengan kelembutan. "Kita harus hidup dengan kenyataan."
Tari terdiam. Tangannya memainkan sendok di cangkir kopinya, menciptakan pola-pola kecil di permukaan cairan hitam itu. "Aku bukan mau kembali, Wira. Aku hanya ingin tahu kalau semuanya baik-baik saja di antara kita."
Wira tersenyum. "Aku baik-baik saja, dan aku harap kamu juga."
Percakapan mereka terus mengalir, seperti hujan di luar yang tak kunjung reda. Tari menceritakan bagaimana ia sekarang menjadi seorang penari, dengan beberapa pentas sukses di Jakarta dan luar negeri. Wira, di sisi lain, berbicara tentang pekerjaannya sebagai konsultan manajemen, pekerjaan yang ia cintai meski kadang melelahkan.
Namun, di balik kata-kata mereka, ada sesuatu yang tak terucapkan. Sebuah rasa kehilangan yang samar, rasa yang tidak mereka akui tetapi terasa di udara di antara mereka.
"Tari, kamu tahu apa yang kupelajari setelah kita berpisah?" Wira tiba-tiba bertanya.
"Apa?"
"Bahwa melepaskan bukan berarti kalah," jawabnya. "Kadang, itu justru kemenangan terbesar kita."
Tari menatapnya lama. "Aku juga belajar satu hal, Wira. Bahwa kenangan indah harus dihargai, tetapi tidak boleh menahan kita untuk melangkah maju."